Opini

Utang Meningkat, Rakyat Sekarat

blank
Bagikan di media sosialmu

Utang Meningkat Rakyat Sekarat

Oleh : Yan Setiawati, S. Pd.I., M.Pd.
Ibu Rumah Tangga dan Aktivis Dakwah

Problematika yang tak pernah padam dalam negeri ini adalah utang negara yang selalu meningkat setiap tahunnya. Sungguh miris kondisi negara yang kaya sumber daya alam ini juga kaya akan utang luar negerinya. Seperti yang telah diberitakan dalam laman bisnis.tempo.co (17/11/2021), menyatakan bahwa Bank Indonesia (BI) mencatat posisi utang luar negeri (ULN) Indonesia mencapai US$ 423,1 miliar, atau meningkat 3,7 persen secara tahunan (year-on-year/yoy), pada akhir kuartal III 2021.

Selain itu, dikutip dalam laman katadata.co.id (15/11/2021), Kepala Departemen Komunikasi Bank Indonesia Erwin Haryono menyampaikan posisi tersebut lebih tinggi dari pertumbuhan kuartal sebelumnya sebesar 2 persen (yoy). Menurutnya, perkembangan tersebut didorong oleh peningkatan ULN sektor publik senilai US$ 205,5 miliar, dan sektor swasta senilai US$ 208,5 miliar.

Utang luar negeri Indonesia hingga akhir kuartal ketiga tahun ini mencapai US$ 423,1 miliar atau sekitar Rp 6.008 triliun, naik 3,7% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

“Dari sisi risiko refinancing, posisi ULN pemerintah aman karena hampir seluruh ULN memiliki tenor jangka panjang dengan pangsa mencapai 99,9% dari total ULN pemerintah,” ujar Erwin dalam keterangan resmi, Senin (15/11).

Utang Luar Negeri (ULN) yang menembus lebih dari 6000 Triliun adalah alarm bahaya bagi fundamental ekonomi (berbasis utang), juga akan berpengaruh besar pada kedaulatan bangsa.

Adanya utang yang membengkak memungkinkan pihak lembaga kreditur akan meraup keuntungan dan mereka akan leluasa menanamkan berbagai kebijakan yang tentunya merugikan negara pengutang. Dengan begitu maka rakyat lagi yang akan merasakan kesengsaraan.

Rakyat lagi yang menjadi korban. Alhasil apapun akan dikenai pajak, bahkan aset negeri pun bisa jadi barang jualan. Sejatinya utang LN adalah jebakan penjajahan ekonomi bagi negeri kaya Sumber Daya Alam (SDA) dan Sumber Daya Manusia (SDM).

Jika para penguasa negeri ini mengetahui dan sadar bahwa sebenarnya utang yang dipinjamkan untuk negeri ini bukanlah menolong, tapi justru akan sangat membahayakan negeri ini. Karena sejatinya utang luar negeri adalah salah bentuk penjajahan. Negara yang memberikan pinjaman justru akan mudah mencari kelemahan negeri ini. Negara yang meminjam utang pun akan tetap miskin karena tertumpuk utang beserta bunganya. Selain itu pinjaman utang dari negara kapitalisi merupakan senjata politik mereka untuk mengambil keuntungan dari negara yang diberikan pinjaman, bukan untuk membantu.

Hakikatnya, utang yang dilakukan negeri ini adalah utang berbunga yang termasuk riba. Pantas saja negeri ini tak kunjung membaik karena negerinya sendiri pun melakukan praktek riba. Negeri ini tidak akan berkah karena melakukan dosa besar secara terus-menerus. Sebagaimana Firman Allah:

وَاَ حَلَّ اللّٰهُ الْبَيْعَ وَحَرَّم الرِّبٰوا

“Padahal, Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah 2: Ayat 275)

Selain itu, bantuan pinjaman dari luar negeri dengan segala perjanjiannya itu akan sangat mendominasi, mengeksploitasi, dan menguasai negara peminjam. Jelas ini termasuk keharaman. Sesuai Firman Allah SWT QS. An-Nisa ayat 141:
“Sekali-kali Allah tidak akan menjadikan jalan bagi orang-orang kafir untuk menguasai kaum Muslim”.

Tiada harapan adanya perbaikan kondisi ekonomi bila tetap dalam pemberlakuan ekonomi kapitalis. Solusi atas problem ini adalah pemerintahan yang mandiri secara politik dan pengelolaan Ssumber daya alam dengan aturan Islam.

Islam merupakan agama sempurna, rahmatan lil’alamin. Aturan Islam mencakup segala hal, termasuk sistem keuangan. APBN negara Islam sangat jelas, baik pengeluaran maupun pendapatan. Pemasukan APBN negara Islam berasal dari banyak pos, misalnya jizyah, kharaj, fai, ganimah, harta tidak bertuan, hingga hasil pengelolaan SDA. Semua penerimaan itu masuk ke dalam Baitulmal dan pengalokasiannya untuk memenuhi biaya administrasi maupun kebutuhan rakyat.

Selain itu, pengelolaan keuangan dalam Islam tidak akan ada praktek riba sehingga Allah akan memberkahi negeri di dalamnya, rakyat sejahtera karena menggunakan aturan sang Khaliq yang Maha Pemberi Rizqi, Allah Maha Tahu yang terbaik untuk makhluk-Nya.

Kalaupun kondisi keuangan sedang pailit, barulah negara akan mengambil kebijakan menarik pajak (dharibah) dari kaum muslim yang mampu saja, itu pun setelah terpotong oleh segala pengeluaran pokoknya. Kebijakan pajak ini hanya berlaku pada waktu tertentu. Ketika kebutuhan sudah terpenuhi, penarikan dharibah mesti terhenti saat itu juga.

Begitulah pengelolaan sistem keuangan dalam negeri Islam di bawah naungan Khilafah yang tidak akan menyengsarakan rakyat sendiri. Maka dari itu sudah sepantasnya kita berislam Kaffah, yakni menerapkan aturan Islam dalam segala aspek kehidupan.

Hal ini sesuai perintah Allah SWT kepada umatnya untuk berislam secara kaffah, bukan setengah-setengah. “Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sungguh, ia musuh yang nyata bagimu.” (QS Al-Baqarah: 208)

Wallahualam Bi Showab.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 7

Comment here