Opini

Utang Negara Menggunung, Benarkah Aman dan Terkendali?

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh: Dwi D.R.

wacana-edukasi.com, OPINI– Akhir-akhir ini beberapa pihak menyatakan bahwa utang negara yang kini berada di rasio terhadap PDB sebesar 38,11% atau diperkirakan mencapai Rp. 8.041 triliun masih terbilang aman dan terkendali. Padahal angka utang negara ini kian membesar. Benarkah utang yang menggunung tersebut aman dan terkendali?

Dilansir antaranews.com (22/12/2023), Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga, Hartanto ia menilai bahwa utang negara yang kini telah mencapai di angka Rp. 8.041 triliun tersebut pada November tahun 2023 masih terkendali. Dilansir m.bisnis.com pada tanggal 30 Desember 2023, pukul 13:40 WIB, seorang Ekonom Universitas Brawijaya Malang, Hendi Subandi juga mengatakan bahwa rasio utang luar negeri Indonesia masih terbilang aman. Bahkan ia memasukkan kategori utang negara ini sebagai utang produktif. Karena, digunakan untuk pembangunan infrastruktur yang menurutnya memberikan dampak positif jangka panjang.

Pernyataan serupa juga datang dari Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef), seperti yang dilansir nasional.konten.co.id, Eko Listiyanto mengatakan bahwa utang Indonesia terbilang cukup aman. Padahal rasio utang negara saat ini terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 38,11%.

Padahal menurut Bank Dunia (World Bank) resiko utang yang semakin menggunung alias menumpuk, dikhawatirkan akan membuat negara pengutang mengalami krisis. Terutama bagi negara yang perekonomiannya yang belum stabil, seperti dilansir amp.kontan.co.id (29/12/2023).

Bahayanya Statment Utang Aman dan Terkendali

Dari beberapa pihak yang menyatakan bahwa utang yang menumpuk tersebut aman dan terkendali, nyatanya hanya akan membahayakan. Karena pada dasarnya, ketika utang terus bertambah dan menggunung telah menggambarkan bahwa pemerintah tidak mampu membayar utang. Sehingga bisa disimpulkan bahwa pernyataan-pernyataan utang aman dan terkendali adalah salah besar.

Statemen utang aman dan terkendali hanya akan menjadi alasan untuk kembali mengutang. Dengan alasan bahwa utang negeri ini masih jauh di bawah negara-negara maju, seperti Jepang dan AS, yang rasio utang terhadap PDB lebih dari 200%. Sehingga menjadi justifikasi bahwa berutang bukanlah masalah, selama rasio utang masih rendah dibandingkan negara-negara maju. Hal ini tentu sangat keliru.

Padahal kondisi negara maju dan negara berkembang sangatlah berbeda. Negara-negara maju, meskipun memiliki utang tetapi mereka juga memberikan utang kepada negara lain yang masih berkembang, seperti Indonesia. Tentu sangat berbeda kondisinya dengan negara yang hanya mengutang saja.

Awal Mula Utang Luar Negeri Menjerat Negeri

Setiap peristiwa pastilah ada awalnya. Seperti yang disebutkan di Chanel Youtube Muslimah Media Center yang diunggah empat hari yang lalu, bahwa utang negara ini mulai terjadi pada masa kemerdekaan. Bahkan disinyalir kuat, kemerdekaan yang didapatkan oleh negara ini berupa pengakuan kedaulatan dari negara penjajah, dengan hanya bebasnya negeri ini dari penajajahan fisik. Penjajah Belanda mensyaratkan kemerdekaan Indonesia dengan kewajiban membayar utang Belanda yang digunakan untuk menjajah Indonesia. Dan inilah utang pertama negeri ini. Dari sinilah kita bisa menilai, bahwa utang luar negeri tidaklah aman. Karena, dijadikan sebagai alat penjajahan secara ekonomi atas negara pengutang.

Masuk ke orde baru utang negeri ini semakin masif, karena mulai hadir investasi-investasi asing terhadap sumber daya alam Indonesia yang berbasis utang, hingga memasuki era reformasi saat ini. Utang dalam sistem kapitalisme meniscayakan bunga utang. Hal ini juga yang menjadikan utang tidak akan pernah dalam posisi aman. Apalagi pembayaran utang dibebankan pada APBN yang sumber APBN berasal dari pajak rakyat. Rakyat sendiri tidak menikmati utang tersebut, hidup mereka semakin sulit sebab pemerintah semakin mengurangi subsidi pendidikan, kesehatan, pupuk, dan lainnya. Sementara utang semakin meroket pokok dan bunganya mutlak dibayarkan oleh APBN.

Inilah gambaran sistem ekonomi kapitalisme yang menjadikan negara miskin dan berkembang mengalami ketergantungan pada negara asing. Dan hal ini membahayakan kedaulatan negara. Dunia akan terus memberikan penilaian positif terhadap utang suatu negara, selama paradigma yang dipakai adalah kapitalisme. Sementara yang diuntungkan hanyalah negara pemberi utang. Karena pada dasarnya utang ribawi hanya akan membawa kesengsaraan.

Kokohnya Sistem Keuangan Islam

Seharusnya negara mandiri secara ekonomi. Namun kemandirian negara dalam ekonomi hanya terwujud dalam penerapan Islam kafah dalam institusi Khilafah. Hal ini telah terbukti secara historis negara yang dibangun oleh Rasul SAW memiliki sistem keuangan yang kokoh. Serta sistem politik yang kuat. Sehingga bisa menjadi negara yang berdaulat dalam menyejahterakan setiap rakyatnya. Karena kesejahteraan dalam Islam dipandang per individu setiap rakyatnya.

Kesejahteraan rakyatnya terealisasi melalui sistem keuangan daulah Islam dalam baitul maal. Yang berfungsi mengatur harta yang diterima negara dan alokasi (distribusi) kepada yang berhak menerimanya. Ada tiga sumber pemasukan baitul maal. Pertama, pos fai’, kharaj dan jizyah. Kedua, hasil pengelolaan aset kepemilikan umum (barang tambang, hutan, dan lainnya). Ketiga, sumber pendapatan lain seperti zakat harta, zakat ternak, zakat pertanian, perniagaan, emas dan perak.

Tiga pos ini akan mengalirkan harta ke baitul maal, karena bertumpu pada sektor produktif. Harta baitul maal selalu mengalir karena tidak tejerat utang ribawi. Rakyat juga tidak terbebani karena negara khilafah tidak menetapkan sistem pungutan pajak di setiap sektornya.

Sistem ekonomi Islam juga membagi harta kekayaan menjadi tiga, yaitu kepemilikian umum, individu, dan negara. Semuanya berkontribusi kepada baitul maal. Dan terbesar adalah harta kepemilikan umum berupa SDA yang dikelola oleh negara. Juga harta milik negara yang dikelola oleh negara. Jika sistem Islam diterapkan, maka anggaran pendapatan dan belanja nasional APBN bisa surplus (besarnya jumlah pendapatan dibandingkan jumlah belanja). Hal ini pun terjadi pada masa khalifah harun ar-Rasyid terjadi surplus yang jumlahnya setara dengan jumlah penerimaan APBN Indonesia.

Inilah bukti keadilan pengelolaan harta dalam sistem Islam. Sekaligus bukti kekokohan dan kemandirian sistem keuangan negara Islam. Lalu, sistem mana lagi yang bisa menjadi rahmat bagi seluruh alam, jika bukan Islam? Tidak ada, hanya Islam. Wallohu’alam.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 24

Comment here