Oleh Bunda Dee (Member Akademi Menulis Kreatif)
wacana-edukasi.com– Pandemi Covid-19 belumlah usai, walau sudah melandai namun berbagai permasalahan yang tersisa masih bertumpuk belum tersolusikan; masalah politik, ekonomi, sosial, budaya, juga hukum. Masalah yang sedang disoroti dan menjadi PR besar bagi pemerintah di bidang hukum di antaranya adalah pentingnya perlindungan hukum bagi perempuan dan Anak. Kekerasan yang menimpa perempuan dan anak hingga hari ini terus berulang, bahkan saat pandemi jumlah korban semakin meningkat.
Upaya Parsial
Berdasarkan catatan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) kekerasan yang terjadi pada anak dan perempuan di tahun 2020 mencapai sekitar 11.637 kasus, 7.191 kasus di antaranya adalah kekerasan seksual. Data terbaru berdasarkan pelaporan sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak di tahun ini (2021) sampai bulan Juni lalu ada 3.122 kasus yang didominasi kasus kekerasan seksual.(antaranews.com,8/7/2021)
Banyak pihak yang berupaya menyelesaikan kasus tersebut, termasuk yang telah dilakukan Pemerintah Kabupaten Bandung. Pengurus Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Kongres Advokasi Indonesia (KAI) Kabupaten Bandung mengadakan pertemuan dengan Dinas Pengendalian Penduduk, Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP2KBP3A) Kabupaten Bandung. Menurut Ketua DPD KAI, Bekti Firmansyah SH pertemuan itu selain sebagai forum silaturahmi juga ajang kerjasama advokasi dan penyuluhan hukum, terutama bagi kepentingan pendampingan dan pembelaan hukum masyarakat, khususnya kaum perempuan dan anak di wilayah Kabupaten Bandung. Dalam pertemuan itu dibuat Nota Kesepakatan antara DPC KAI dan DP2KBP3A terkait penanganan kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak di Kabupaten Bandung.
Sebetulnya upaya pendampingan dan pembelaan hukum khususnya untuk perempuan dan anak kerap dilakukan. Salah satu upaya yang diusahakan pemerintah adalah dengan membahas tuntas Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) agar menjadi Undang-undang, karena dinilai dapat menyelesaikan masalah kekerasan terhadap perempuan dan anak secara menyeluruh, termasuk perlindungan hukumnya. Pertanyaannya kalaulah RUU P-KS diundang-undangkan, mampukah menghilangkan kekerasan seksual pada anak dan perempuan juga mewujudkan perlindungan hukumnya?
Bila kita telaah lebih lanjut yang mesti disoroti adalah mengapa kasus semakin meningkat, padahal sudah banyak upaya yang dilakukan? Jangan sampai usaha sudah banyak dicurahkan tapi kasus bukannya berkurang, berarti ada yang salah cara penyelesaiannya.
Bila diurai, pelaku kekerasan seksual bukan hanya orang yang tidak dikenal, tapi bisa saudara, teman, tetangga bahkan anggota keluarga sendiri. Payung hukum yang diharapkan membikin orang jera melakukan tindak kekerasan, malah semakin menunjukkan ketidakmampuannya. Semua berpulang kepada akibat diterapkannya sistem kapitalisme sekular. Cara pandang kapitalis telah menempatkan perempuan sebagai objek pemuas nafsu laki-laki semata. Perempuan dipandang hanya dari sisi sensualitasnya saja. Berbagai iklan yang sama sekali tidak berkaitan dengan perempuan seringkali menggunakan perempuan hanya sebagai daya tarik bagi pembeli. Kecantikan dan tubuh perempuan menjadi ajang perlombaan.
Perempuan ibarat barang komoditas jauh dari kemuliaan. Selain itu perempuan didorong untuk banyak berkiprah di luar rumah atas nama pemberdayaan perempuan, tanpa jaminan keamanan. Sewaktu-waktu rentan menjadi korban pelecehan seksual terlebih yang menjadi TKW ke luar negeri. Sudah sering menonton berita yang sangat memilukan. Reaksi dari pemerintah bukan tidak ada, namun apalah artinya kalau sudah menjadi korban. Hal ini pun terus berulang.
Demokrasi sebagai turunan kapitalisme telah mengagung-agungkan kebebasan, termasuk kebebasan bertingkah laku. Dari sini tidak sedikit anak-anak menjadi korban kekerasan seksual. Kebahagian yang didefinisikan kapitalisme adalah mendapatkan harta sebanyak-banyaknya dan kepuasan jasadi tanpa mengenal haral-haram.
Naluri seksual secara alami akan terbangkitkan jika dipicu tontonan pornografi ataupun pornoaksi. Ketika pemerintah membiarkan masyarakat mengkonsumsinya terus menerus bukan tanpa alasan pelecehan seksual akan terus berlangsung. Para perempuan dibiarkan membuka auratnya, bercampur baur tanpa batasan. Atas nama kebebasan, ajaran agama (Islam) diabaikan. Itulah ciri khas sekularisme. Agama dimandulkan dari pengaturan sosial. Akibatnya bukan hanya perempuan dan anak-anak yang menjadi korban, tapi permasalahan sosial lainnya tumbuh bak jamur di musim hujan. Perselingkuhan, penyimpangan seksual kian merebak dan merusak.
Berbicara perlindungan hukum, kita ketahui bersama, hukum yang ada begitu lemah, tumpul ke atas tajam ke bawah. Bagaimana bisa melindungi orang yang lemah. Bukan rahasia lagi mencari keadilan di sistem kapitalisme sekular bak mencari jarum di gundukan jerami. Sama-sama kasusnya berkerumun, yang satu dihukum, yang satu lagi melenggang. Jaminan perlindungan hukum nyaris sulit didapat. Berurusan dengan hukum biayanya tidak murah.
Kasus yang tercatat berkaitan dengan kekerasan seksual pada anak dan perempuan bisa jadi merupakan fenomena gunung es, realitas kejadian lebih banyak dari yang tetcatat, karena tidak semua melaporkan kasusnya. Hukum yang berbelit, birokrasi yang panjang dan rumit membuat sebagian masyarakat enggan berhubungan dengan hukum.
Islam Menjamin Perlindungan Hukum
Berbeda dengan Islam, perlindungan terhadap anak dan perempuan sengaja diciptakan. Negara akan membina, mengedukasi agar masing-masing warga negaranya saling melindungi dan menghormati. Perempuan dan laki-laki adalah mitra dalam kebajikan dan amar makruf nahyi munkar. Pandangan seksualitas hanya boleh dalam kerangka pernikahan, sehingga perempuan tetap terlindungi dari pandangan nakal laki-laki. Negara pun tidak akan membiarkan media mempertontonkan pornografi dan pornoaksi yang akan membangkitkan naluri seksual.
Di samping itu negara mewajibkan laki-laki dan perempuan menutup aurat sesuai syariat, juga menundukan pandangan.
Kehidupan umum akan diberlakukan terpisah antara laki-laki dan perempuan, kecuali syariat membolehkannya. Jika ada penyimpangan maka sanksi yang tegas akan diberlakukan agar kasus tidak berulang.
Islam tidak mewajibkan perempuan bekerja tapi sebatas membolehkan. Hal ini tidak menjadikan perempuan berduyun-duyun ke luar rumah. Negara hanya mewajibkan bekerja bagi laki-laki dengan lapangan kerja yang sudah disiapkan.
Perlindungan begitu tercipta ditunjukkan oleh negara bagi siapapun, bukan hanya bagi perempuan dan anak-anak, tapi oleh seluruh warga negara. Di mata hukum semua sama. Kaya, miskin, muslim, non muslim, pejabat, rakyat biasa tidak ada perbedaan. Hakim ketika menghukumi hanya menjalankan perintah Allah Swt. tidak ada kepentingan lain seperti halnya dalam sistem kapitalisme.
Maka tidak berlebihan bila kita katakan kapitalisme telah gagal memberi perlindungan hukum terhadap perempuan dan anak, sebab agama tidak menjadi pondasi bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Rasulullah saw. bersabda yang artinya:
“Barang siapa yang bangun di pagi hari merasa aman di sekitarnya, sehat badannya, dan mempunyai makanan (pokok) hari itu, seolah-olah ia telah memiliki dunia seisinya.” (HR. Al Tirmidzi)
Untuk mewujudkan hadis di atas maka pemimpin/khalifah memberlakukan sistem sosial, ekonomi, politik dan yang lainnya berdasarkan akidah Islam. Terlebih Islam diturunkan oleh Allah Swt. untuk melindungi akal, nyawa juga kehormatan.
Banyak ayat Al-Qur’an dan hadis yang menggambarkan betapa Islam melindungi perempuan dan menjaga kehormatannya.
Maka dari itu perlindungan hukum bagi perempuan dan anak tidak akan pernah terwujud kecuali dengan penerapan Islam secara menyeluruh dalam bingkai khilafah.
Wallahu a’lam bi shawab.
Views: 19
Comment here