Oleh: drg. Dita Anggraini Brilliantari
wacana-edukaasi.com — Belakangan ini, publik diramaikan berita mengenai pengesahan UU Cipta Kerja oleh DPR. Banyak masyarakat dari berbagai kalangan turun ke jalan untuk memprotes keputusan tersebut, baik dari kalangan mahasiswa, buruh, bahkan sampai pegiat lingkungan. Hal yang mendasari demo tersebut isi dari UU Cipta Kerja yang bukannya mengedepankan pekerja tapi malah semakin merugikan dan menguntungkan pengusaha. Yang membuat rakyat geram adalah keputusan dilakukan sangat tiba-tiba, pada dini hari, dan ada beberapa suara anggota sendiri yang tidak didengar. Terutama keputusan ini dilakukan saat pandemi dimana seharusnya wakil-wakil rakyat tersebut fokus pada pandemi bukannya terburu-buru memutuskan UU ini.
Pasal-pasal kontroversial bermunculan, terutama soal ketenagakerjaan. Namun, isu lingkungan hidup dalam aturan tersebut juga menimbulkan kecaman dari berbagai pihak terutama pemerhati lingkungan hidup. Bukannya menjamin kelestarian alam, beberapa pasal justru sebaliknya, dengan alasan meningkatkan investasi. Secara garis besar, UU Cipta Kerja menghapus, mengubah, dan menetapkan aturan baru terkait perizinan pengusaha yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Pemberian izin lingkungan kini menjadi kewenangan pemerintah pusat.
Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Hindun Mulaika berpendapat keberadaan amdal yang dilemahkan menjadi ancaman bagi kelestarian alam. Masalah lainnya dari omnibus law itu adalah proses perizinan yang tidak melibatkan peran atau partisipasi masyarakat. “Bagian ini kemudian dibatasi hanya untuk mereka yang terdampak langsung. Nah, soal terdampak langsung ini menjadi perdebatan besar,” kata Hindun kepada Katadata.co.id, Selasa (6/10).
UU Cipta Kerja justru menyelesaikan masalah dengan cara keberpihkan kepada investor. Direktur Eksekutif Nasional Walhi Nur Hidayati menyebut pengesahaan omnibus law Cipta Kerja merupakan puncak pengkhianatan negara terhadap hak buruh, petani, masyarakat adat, perempuan, dan lingkungan hidup serta generasi mendatang. Pilihan mengesahkan RUU yang tidak mencerminkan kebutuhan rakyat dan alam merupakan tindakan inkonstitusional (katadata.co.id, 06/10/20).
“Spirit dan semangat UU ini berorientasi utama pada ekstraksi. Jadi mengejar kepentingan eksploitasi lingkungan dan sumber daya alam, termasuk manusia,” katanya melalui konferensi pers daring yang digelar FH UGM, Selasa, 6 Oktober 2020 (CNN indonesia, 06/10.20).
Melihat fakta diatas, dampak dari UU cipta kerja ini bukan hanya merugikan para pekerja tapi juga berimbas pada lingkungan. Begitulah hukum buatan manusia yang tidak menimbulkan solusi tapi malah semakin banyak mudaratnya. Di saat rakyat ingin menyuarakan pendapatnya, bukan sedikit mahasiswa yang diancam oleh pihak-pihak tertentu. Dari diancam drop out sampai tidak bisa mendapat pekerjaan. Inilah negara yang katanya berbasis demokrasi tapi sebaliknya suara rakyat malah dipaksa bungkam.
Pakar Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada (UGM) Zainal Arifin Mochtar menyatakan ada sejumlah cara yang bisa dilakukan untuk membatalkan Rancangan Undang-undang (RUU) Cipta Kerja (Ciptaker) yang sudah disahkan oleh DPR. Masih dalam bingkai politik, menurut dia, UU ini juga masih menunggu tanda tangan Presiden Jokowi untuk proses pengesahan. Menurutnya, jika adanya aksi masyarakat yang ramai menolak, ia menyebut, tidak menutup kemungkinan Presiden tidak menandatanganinya. Setelah aspek politik itulah, kata dia, muncul langkah perlawanan dari aspek hukum. Dari sisi ini, kata dia, ada cara menggugatnya melalui judicial review di Mahkamah Konstitusi. “Bisa secara materiil dan formil, bisa terhadap pasal dan metode pembentukan. Dan menurut saya ini yang harus dilakukan oleh kita bersama juga,” ucap dia. Sementara itu dari aspek sosial masyarakat, sangat memungkinkan dengan pembangkangan sipil. Poin ketiga ini, ia berpendapat, pembangkangan sipil memang harus dilakukan (CNN indonesia, 06/10/20).
Berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan hidup rakyat, Islam mewajibkan negara menjalankan kebijakan makro dengan menjalankan apa yang disebut dengan Politik Ekonomi Islam. Politik ekonomi Islam diterapkan khilafah (Sistem pemerintahan Islam) melalui berbagai kebijakan yang menjamin tercapainya pemenuhan semua kebutuhan pokok tiap individu masyarakat secara keseluruhan, disertai adanya jaminan yang memungkinkan setiap individu untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pelengkap (sekunder dan tersier) sesuai kemampuan yang dimiliki. Islam menjamin tercapainya pemenuhan seluruh kebutuhan pokok (primer) setiap warga negara (muslim dan non-muslim) secara menyeluruh, baik kebutuhan yang berupa barang maupun jasa (Muslimahnews.com, 22/12/19).
Khilafah akan menciptakan lapangan kerja, memberi akses kepemilikan lahan bagi individu yang mampu mengolahnya melalui ihyaul mawat (menghidupkan tanah mati), menciptakan iklim kondusif bagi wirausaha, dan sebagainya, sebagai sarana bagi setiap kepala keluarga untuk bekerja. Negara tidak sebatas wajib membuka lapangan pekerjaan, bahkan negara juga wajib menyediakan sarana dan prasarana, modal usaha yang diambilkan dari baitulmal. Modal diberikan cuma-cuma tanpa harus dikembalikan dengan sistem pinjaman ribawi. Bagi warga negara yang belum cukup keterampilan maka negara menyelenggarakan penyuluhan dan pelatihan sampai mereka memiliki skill yang cukup untuk bekerja, tanpa dibatasi waktu tertentu. Semuanya diberikan secara gratis tanpa pungutan (Muslimahnews.com, 22/12/19).
Cara memperoleh pendapatan tidak hanya melalui penetapan hukum wajib mencari nafkah bagi laki-laki balig saja. Syariat Islam juga memiliki hukum-hukum lain yang sah dalam kepemilikan harta seperti hukum waris. Alternatif cara pemenuhan kebutuhan hidup dan mewujudkan kesejahteraan bagi tiap individu masyarakat yang tidak mampu memenuhinya, juga dipenuhi dengan tanggung jawab kerabat dan tetangga.
Dengan dilaksanakan politik ekonomi Islam tersebut, beberapa permasalahan pokok ketenagakerjaan yang berkaitan dengan masalah kesejahteraan buruh terselesaikan. Permasalahan tunjangan sosial berupa pendidikan dan kesehatan bukanlah masalah yang harus dikhawatirkan pekerja. Sebagaimana hukum akad, kontrak kerja sama harus memenuhi ‘ridha wal ikhtiar’, kontrak yang terjadi yang harusnya saling menguntungkan. Tidak boleh satu pihak menzalimi dan merasa dizalimi pihak lainnya.
Hal ini menunjukkan begitu sempurna hukum atau aturan yang Allah ciptakan untuk mengatur kehidupan kita, tinggal kita memilih untuk menggunakan hukum buatan manusia atau hukum Sang Pencipta kita yang Maha Sempurna.
Wallahu ‘Alam bishowab.
Views: 19
Comment here