Opini

UU Ciptaker, untuk Rakyat atau Kepentingan Penguasa?

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh: Diaz Ummu Ais

wacana-edukasi.com, OPINI–Baru-baru ini pemerintah mengesahkan Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perppu) N0. 2 tahun 2022 tentang cipta Kerja menjadi Undang-Undang. UU ini menuai banyak gelombang protes dari berbagai kalangan, kareni dinilai sebagai langkah “pembangkangan” terhadap putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat dan harus diperbaiki.

Dikutip dari BBC News Indonesia, pemerintah melalui Menkopolhukam mengatakan jika UU Cipta Kerja ini sesungguhnya adalah bentuk perbaikan sebagaimana yang diperintahkan MK.

“Nah, kalau isinya yang mau dipersoalkan silahkan gitu, tapi kalau prosedur sudah selesai,” ungkap Magfud MD.

Disisi lain pengesahan UU ini menuai kritik dari berbagai pihak, diantaranya dari kacamata ahli hukum ketenagakerjaan, kelompok buruh, dan keterangan asosiasi pengusaha. Mereka mengatakan jika aturan ini justru menciptakan “ketidakpastian hukum”.

Kembali menguti dari BBC News, “Jadi kritik-kritik yang dulu sudah dilontarkan dalam pasal-pasal di dalam UU Cipta Kerja itu kan tersalin lagi ke Perppu No. 2 tahun 2022 ini, yang pastinya memberikan permasalahan warisan. Sejumlah pasal yang benar-benar baru di dalam Perppu Cipta Kerja justru menciptakan ketidakpastian hukum,” kata Nabiyla Risfa Izzati, yang merupakan ahli hukum ketenagakerjaan daru Universitas Gadja Mada.

Persoalan terkait pekerja alih daya atau outsourching serta penentuan upah minimum pekerja menjadi yang paling disorot dalam UU ini. Kedua hal itu menambah malangnya nasib buruh.

Pada pasal 64 mengatur tentang tenaga alih daya atau outsourching dihidupkan kembali dalam Perppu Cipta Kerja dengan perubahan. Pasal yang berasal dari UU Ketenagakerjaan No. 13 tahun 2003 ini kemudian dihapus dalam UU Cipta Kerja pada tahun 2020.

Hal ini bermakna bahwa UU Cipta Kerja pada tahun 2020 setiap sektor pekerjaan bisa menggunakan tenaga outsourching. Tetapi dalam Perppu terbaru kemungkinan hanya jenis-jenis pekerjaan tertenti saja yang dibolehkan diisi oleh tenaga alih daya atau outsourching. Namun pemerintah tidak menjelaskan secara detail atau terperinci terkait “menetapkan sebagian pelaksanaan pekerjaan”.

“Apakah ini maksudnya menjadi peraturan pemerintah akan dibatasi jenis-jenis pekerjaan yang dilakukan alih daya, atau dia sedang mengatur mekanisme alih daya atau apa? Itu serba tidak jelas,” tambah Nabiyla.

Ketua Umum Apindo, Hariyadi B Sukamdani mengatakan jika pasal tersebut “tidak Tepat”.

“Indonesia membutuhkan sangat banyak lapangan pekerjaan. Nah kalau seluruh upaya atau korido-koridor ini dipersempit, kita tidak punya alternatif cukup untuk menyediaan lapangan kerja itu,” ujarnya pada media, Selasa (03/01)

Sementara itu tak jauh berbeda, kelompok buruh pun sepakat menolak juga, namun menginginkan jenis-jenis pekerjaan tenaga alih daya dipersempit.

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menilai jika melaui pasal ini pemerintah sedang melakukan “moderasi” agar tidak semua sektor pekerjaan dibolehkan untuk menggunakan tenaga alih daya atau outsourching.

Dikutip dari lama BBC News Indonesia pada Rabu (04/01) Said Iqbal mengatakan, “Pertanyaannya, pembatasanya berapa? Kami inginkan bahwa dibatasi 5 jenis pekerjaan saja, seperti UU 13/2003atau tambah 10 jenis pekerjaan. Jadi jelas jangan seluruh jenis pekerjaan”.

Terkait pengaturan upah minimum buruh yang tertuang dalam pasal 88D, upah minimum buruh akan dihitung menggunakan formula yang mempertimbangkan variable pertumbuhan ekonomi, inflasi dan indeks tertentu. Ketentuan lebih lanjut mengenai formula perhitungan upah minimum diatur dalam peraturan pemerintah.

Mengutip pernyataan Said Iqbal. “Indeks tertentu itu apa? Kan tidak jelas. Inflasi, pertumbuhan ekonomi dan indeks tertentu ini apakah pengurang, penambah, pengalih atau pembagi. Kan tidak jelas formulanya.”

Pada hakikatnya seorang pekerja menginginkan ia diupah atau digaji besar berdasarkan berat beban pekerjaannya. Sementara kondisi ini berbalik dengan keinginan para majikan atau pemilik perusaan tempat buruh bekerja, mereka ingin meminimalisir biaya produksi mereka. Hal ini tentu saja termasuk upah pekerja atau buruh.

Dalam sistem kapitalis yang sedang berkuasa saat ini orientasinya adalah memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya dengan mengeluarkan modal yang minim. Penguasa sesungguhnya dalam sistem kapitalis adalah para capital atau para pemilik modal, sedangkan negara hanya berfungsi sebagai regulator kebijakan semata. Dimana ia berperan sebagai pengesah UU yang menguntungkan penguasa kapital. Hal ini terbukti saat banyaknya lapisan masyarakat menolak Perppu Cipta Kerja, pemerintah tetap mengesahkannya menjadi Undang-undang. Begitu pula terkait sistem pengupahan, dimana pemerintah menetapkan upah minimum distandarkan pada hidup minimum tempat ia bekerja.

Standar Gaji dalam Islam

Berbeda dengan sistem kapitalis, sistem Islam mengatur masalah upah gaji buruh. Islam memiliki institusi praktis dalam menerapkan syariah. Islam memiliki mekanisme dalam mengatur hubungan pekerja dengan pemilik kerja. Bahkan mekanisme ini mampu mensejahterakan kedua belah pihak.

Dalam menentukan standar gaji buruh, standar yang digunakan dalam Islam adalah manfaat kerja (manfaat al-juhd) bukan standar biaya hidup terendah. Hal ini mencegah terjadinya eksploitasi buruh atau pekerja oleh majikannya. Buruh dan pegawai negeri sama, karena buruhmemperoleh gaji atau upahnya sesuai dengan ketentuan upah sepadan yang berlaku di tengah masyarakat.

Jika antara buruh atau pekerrja terjadi sengketa dengan majikan dalam menentukan upah, maka pakar (khubara’) akan membatu untuk menentukan upah sepadan. Pakar ini dipilih oleh kedua belah pihak. Dengan demikian negara tidak perlu menentukan upah minimum regional (UMR) dan para buruh atau pekerja akan dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dengan layak.

Sedangkan seorang majikan dalam Islam diperintahjkan untuk bersegera membayarkan upah atau gajih pekerjanya.

“Berikan kepada seorang pekerja upahnya sebelum keringatnya mongering”. Hadist Riwayat Ibnu Majah. Hadist ini bermakna agar bersegera menunaikan hak buruh atau pekerja setelah selesainya pekerjaan, begitupun juga bisa bermakna jika telah ada kesepakatan pemberian gaji setiap bulan.

Karna itu buruh dalam sistem Islam tidak perlu khawatir terkait pekerjaan karena lapangan pekerjaan akan terbuka luas. Ia pun tak perlu khawatir terkait upah karna Islam sangat adil terkait penentuannya. Sementara para majikan akan memperoleh keuntungan dari jasa yang diberikan oleh para pekerjanya. Demikianlah Islam menyelesaikan persoalan terkait upah para buruh secara adil yang tak mungkin mampu terselesaikan dalam sistem kapitalis.[]

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 5

Comment here