Oleh: Ummu Azmi (Aktivis Muslimah)
wacana-edukasi.com, OPINI– Pada dasarnya, seorang ibu sangat ingin menjaga anaknya di rumah, mengasuh, serta mendidiknya. Melihat pertumbuhan dan perkembangan anak dengan mata kepala sendiri secara langsung adalah hal yang sangat membahagiakan. Berinteraksi dengan anak merupakan aktivitas yang menyenangkan.
Akan tetapi, tidak semua ibu mendapat kesempatan berharga seperti itu. Beberapa ibu, bahkan ada banyak ibu yang harus turut berjuang mengerahkan waktu dan tenaganya untuk membantu memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari keluarganya. Kebutuhan ekonomi yang perlu dipenuhi membuat seorang ibu terpaksa bekerja membantu suaminya.
Karena terdapat pekerja perempuan, maka ada Undang-Undang yang disebut akan menyejahterakan pekerja perempuannya. Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI, Diah Pitaloka, memberikan jaminan bahwa Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (UU KIA), yang sudah disahkan dalam rapat paripurna, tak akan mendiskriminasi perempuan. Tujuan UU ini adalah untuk meningkatkan kualitas pekerja Indonesia dikatakan oleh Diah. DPR, jelas dia, berada di pihak pekerja yang selalu di posisi lemah berhadapan dengan perusahaan. (tirto.id, 7/6/2024)
Jika tanpa menelisik lebih dalam, Undang-Undang ini terlihat sangat memperhatikan kondisi perempuan. Dimana, perempuan bekerja bisa mendapatkan cuti melahirkan serta tetap mendapatkan upah secara penuh. Tetapi, apakah dapat memberikan kesejahteraan?
Perempuan Bekerja
Dalam kapitalisme, perempuan berdaya ialah perempuan yang bekerja. Perempuan yang bekerja ini diberikan hak-hak nya yang tertuang dalam UU KIA. Undang-Undang ini dirasa dapat menyejahterakan para pekerja wanita. Karena, selain bisa tetap bekerja, pekerja perempuan masih bisa tetap mengurus bayi mereka selama mendapatkan hak cuti. Namun, apakah betul menyejahterakan?
Para perempuan yang bekerja saat ini, masih banyak yang terpaksa melakukan pekerjaannya karena terdorong oleh kebutuhan hidup yang harus dipenuhi. Sedangkan, penghasilan dari suami kurang mencukupi untuk memenuhi semuanya. Karena memang, biaya hidup mulai tinggi, pekerjaan yang layak sulit didapat meski sudah mencari.
Biaya pendidikan yang tidak murah, harga-harga pun terasa menjadi mewah, dan fasilitas kesehatan yang lengkap pun jauh dari daerah. Itulah beberapa hal yang menjadi pertimbangan seorang perempuan atau ibu memilih untuk bekerja di luar rumah. Meskipun, saat ini sudah ada UU KIA, tapi tidak semua ibu pekerja menjadi karyawan dalam sebuah perusahaan, sehingga mendapatkan hak untuk cuti.
Banyak juga dari ibu yang bekerja di luar perusahaan, sehingga tidak mendapatkan hak cuti bagi yang telah melahirkan. Sungguh, beban berat yang harus dirasakan oleh para ibu. Disamping ia harus mengurus bayi atau anak, ia juga harus merasakan lelahnya bekerja. Padahal, bukan kewajibannya untuk bekerja. Tapi apalah daya, kebutuhan hidup yang harus dipenuhi pun meronta.
Ibu dan anak pun tidak mendapatkan jaminan kesehatan gratis dan makanan bergizi seimbang. Tidak pula ada jaminan untuk ibu bisa memberikan asi ekslusif selama enam bulan, lalu hingga dua tahun. Nyatanya, ada saja ibu bekerja yang harus merelakan bayinya tidak mendapatkan asi karena asi nya tidak lagi keluar, beberapa penyebabnya ialah kelelahan dan banyak pikiran.
Tidak dapat dimungkiri juga bahwa negara tidak menjamin tersedianya lapangan pekerjaan untuk para kepala keluarga. Bahkan, banyak terjadi PHK yang menjadi salah satu alasan ibu untuk turut membantu suaminya memenuhi perekonomian keluarga.
Jika kesejahteraan diukur pakai kacamata kapitalisme, pencapaian materi menjadi acuan kesejahteraan tersebut. Undang-undang ini menyiratkan bahwa seorang ibu masih dapat bekerja mencari rupiah dan mendukung pertumbuhan ekonomi meskipun sedang mempunyai bayi. Target materi dalam kapitalisme menjadi nomor satu, sedangkan aspek ruhiyah diabaikan.
Perspektif Islam
Sistem kapitalisme berbeda dengan sistem Islam. Kesejahteraan dalam pandangan Islam tidak dipenuhi oleh hal-hal yang bersifat materi dan pencapaian duniawi. Tetapi, aspek ruhiyah nya sangat diperhatikan. Posisinya sebagai hamba Allah merupakan parameter kesejahteraan ibu dan anak.
Oleh sebab itu, ibu yang sejahtera ialah ibu yang bisa menjalankan fungsi dan tugas yang Allah Swt. tetapkan padanya, yaitu sebagai pengasuh dan pendidik bagi anaknya, bukan karena menghasilkan uang. Kesejahteraan ibu dan anak membutuhkan solusi yang komprehensif, bukan sekadar cuti dan gaji.
Ada beberapa faktor yang memengaruhi kesejahteraan ibu dan anak, diantaranya negara yang melayani rakyatnya. Jika negara belum bisa melayani rakyatnya, maka kesejahteraan ibu dan anak pun belum bisa terwujud. Lalu, penerapan sistem ekonominya harus menyejahterakan. Sistem ekonomi kapitalisme nyatanya membuat kekayaan berputar pada beberapa pengusaha kapitalis saja, sedangkan rakyat berebut sisanya.
Kemudian, peran ibu harus ditempatkan sebagai pencetak generasi. Hal yang penting dan utama ialah fungsi ibu sebagai pengasuh dan pendidik anak. Dan, semua ini akan terwujud dalam sistem Islam. Pemimpin negara akan bertindak sebagai pengurus dan penanggungjawab. Sehingga, kebutuhan rakyatnya akan terpenuhi, baik kebutuhan dasar maupun pelengkap.
Negara dalam Islam akan mengembalikan kepemilikan umum dari swasta ke rakyat. Negara akan mengelola kepemilikan umum tersebut dan hasilnya untuk kepentingan rakyat, seperti jaminan layanan pendidikan, kesehatan, dan keamanan secara gratis. Rakyat pun tidak terbebani.
Negara juga menjamin lapangan pekerjaan bagi laki-laki, sehingga bisa menafkahi keluarganya. Dan, para ibu bisa fokus mengasuh dan mendidik anak tanpa ada beban ekonomi. Negara juga menjamin kesehatan ibu dan anak dalam memperoleh asupan yang bergizi seimbang. Dan juga, negara dalam Islam menyediakan tempat tinggal yang sehat dan layak untuk keluarga, sehingga anak dapat tumbuh dan berkembang dengan baik.
Taman bermain pun disediakan oleh negara secara gratis sehingga kebutuhan jiwa keluarga terpenuhi dan anak-anak dapat bereksplorasi. Negara akan menyediakan semua hal yang dibutuhkan untuk mencetak generasi yang berkualitas. Sabda Rasulullah saw., “Seseorang mendidik anaknya itu lebih baik baginya daripada ia menyedekahkan (setiap hari) satu sha’” (HR At-Tirmidzi).
Ibu dan anak akan seJahtera secara hakiki melalui solusi ini, sepanjang hidupnya. Wallahualam.
Views: 6
Comment here