Surat Pembaca

UU TPKS, Tak Berantas Perzinaan

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh. Widijarti

wacana-edukasi.com– Kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak seolah menjadi fenomena gunung es yang sampai saat ini belum dapat diatasi.Komnas Perempuan melaporkan selama rentang 2016 – 2020 terdapat 24.786 kasus kekerasan terhadap perempuan. Sekitar 7.345 ( 29,6 %) adalah kasus pemerkosaan dan sekitar 30 % kasus yang dapat terselesaikan.(Tirto, 14/ 12/21).

Sedangkan dari tahun 2021-Maret 2022 terdapat lebih dari 8.000 kasus kekerasan terhadap perempuan, 11.000 kasus kekerasan pada anak, dan 58% adalah korban kekerasan seksual.

Oleh karena itu Presiden Joko Widodo telah meminta DPR untuk mempercepat pembahasan dan pengesahan RUU TP-KS. Pengesahan akan dilakukan pada pembahasan Tingkat II, yaitu Sidang Paripurna DPR yang harus dihadiri oleh 420 anggota dewan.

RUU TP-KS merupakan rancangan undang-undang yang mengatur tentang pencegahan, penanganan, perlindungan, dan pemulihan hak korban tindak pidana kekerasan seksual.

RUU ini juga memuat proses tindak pidana terhadap pelaku dan bagaimana pelaku kembali ke masyarakat tanpa menciderai hak korban, sampai pada masalah ganti rugi untuk korban.

Definisi kekerasan seksual pada RUU TP-KS diklaim jauh lebih luas dan mampu menjangkau para pelaku yang selama ini dapat lolos dari jeratan hukum hanya karena tindakan pelaku tidak ada yang memenuhi unsur legalitas sebagai tindak pidana KUHP.

Dari semua fraksi yang ada di DPR hanya Fraksi PKS yang menolak pengesahan RUU TP-KS.
Alasannya, karena didalam rancangan tersebut tidak memasukkan tindak pidana kesusilaan secara komprehensif yang meliputi kekerasan seksual, perzinaan, pemerkosaan, dan penyimpangan seksual.

Menurut mereka rumusan tindak pidana kesusilaan dalam RKUHP sudah komprehensif.
Karena meliputi perbuatan yang mengandung unsur kekerasan seksual dan yang tidak mengandung unsur kekerasan seksual seperti perzinaan dan hubungan sesama jenis.

Meski ada penolakan namun akhirnya RUU TPKS disahkan menjadi UU TP-KS oleh DPR dalam sidang yang diketuai Puan Maharani pada Selasa ( 12/4/2022). Puan mengatakan bahwa pengesahan RUU TP-KS adalah hadiah bagi seluruh perempuan Indonesia.

Komnas Perempuan sebagai inisiator menyambut gembira pengesahan RUU yang sudah diperjuangkan sejak tahun 2012.
Komnas Perempuan juga mengingatkan bahwa pelaksanaan UU TP-KS perlu dikawal agar benar-benar dapat mengatasi permasalahan kekerasan pada perempuan dan anak, termasuk kekerasan seksual.

Namun benarkah UU TP-KS bisa menjadi solusi atas permasalahan kekerasan seksual yang terjadi pada perempuan dan anak?

Bila dicermati makna kekerasan seksual yang terdapat dalam Bab I dan pasal I UU TP-KS adalah : Setiap perbuatan yang bersifat fisik atau nonfisik, mengarah pada tubuh dan atau fungsi reproduksi yang disukai atau tidak disukai secara paksa dengan ancaman, tipu muslihat, atau bujuk rayu yang mempunyai atau tidak mempunyai tujuan tertentu untuk mendapatkan keuntungan yang berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual dan kerugian secara ekonomis.

Dari definisinya ,maka yang akan terkena hukum adalah jika mengandung ancaman dan paksaan.Artinya jika suka sama suka tanpa paksaan dan ancaman, tidak akan terjaring kasus ini. Akibatnya, tidak dapat mempersoalkan hubungan seksual diluar pernikahan dan justru melegitimasi pihak manapun yang ingin melakukan seks di luar pernikahan dengan persetujuan ( by consent). Atau sama saja melegitimasi perzinaan yang akan membuka pintu pergaulan bebas.
Maka dengan maraknya pergaulan bebas, otomatis kekerasan seksual akan lebih banyak terjadi.

Kemudian dalam pasal 8 ayat 2 menyebutkan,” Tindak pidana perkosaan meliputi perkosaan di dalam dan di luar hubungan perkawinan”.

Berdasarkan pasal ini seorang istri bisa sesuka hati memilih melayani suami atau tidak, jika suami memaksa, dapat terkategori pemerkosaan dan istri bisa mempidanakan suaminya. Tampak jelas UU TP-KS tidak akan menjadi solusi bagi masalah kekerasan seksual terhadap perempuan, namun malah memunculkan berbagai permasalahan baru.

*Akar Masalah Kekerasan Seksual*

Sesungguhnya maraknya kekerasan seksual terhadap perempuan adalah karena tidak adanya perlindungan terhadap perempuan, baik oleh negara, masyarakat, maupun keluarga.

Hal ini terjadi karena diterapkannya sistem kapitalis sekuler yang membuat kehidupan masyarakat terutama kaum perempuan menjadi terpuruk dan cenderung selalu menjadi korban.

Dan tidak adanya pemahaman untuk melindungi perempuan dan anak baik oleh keluarga, masyarakat maupun negara.

Maraknya kasus kekerasan dan kejahatan seksual sesungguhnya akibat sistem sekuler yang memang mengakar di tengah masyarakat. Sistem kehidupan sekuler membentuk individu-individu yang cenderung menginginkan kebebasan sebebas-bebasnya dalam kehidupannya. Ia tidak mau diatur terlalu banyak, bahkan sama sekali tidak mau diatur aturan agama.

Sistem sekuler ini juga membentuk manusia-manusia yang tidak mau memikirkan aspek spiritual dalam hidupnya. Mereka bersikap masa bodoh dengan agama. Kebahagiaan pun disandarkan pada materi, yaitu hanya terpenuhi kebutuhan sandang, pangan, papan, termasuk kebutuhan sekunder bahkan tersiernya. Ya, sebatas itu.

Bahagia disandarkan pada kepuasan materi, termasuk kepuasan seksual. Entah bagaimana caranya untuk mendapatkan kepuasan seksual tersebut, baik pemuasan seksual lawan jenis ataupun sesama jenis, semuanya tanpa aturan agama.

Kepuasan syahwat dinomorsatukan. Mereka merasa bebas melakukan semua itu karena menganggap Tuhan tidak punya otoritas untuk mengatur kehidupan sehari-hari. Mereka ‘datang’ kepada Tuhan hanya untuk kepuasan batin dan spiritual. Pemahaman liberal dan sekuler ini sangat berbahaya apalagi bagi seorang muslim.

Didalam sistem kapitalisme, keberadaan perempuan hanya dianggap sebagai obyek eksploitasi. Dianggap bermanfaat ketika menghasilkan materi. Bahkan dituntut untuk menjadi tulang punggung ekonomi.Didukung dengan ide HAM dan kesetaraan gender, maka perempuan berlomba-lomba terjun ke ranah publik untuk membuktikan eksistensinya.Maka interaksinya yang serba boleh dan longgar dengan lawan jenis justru menempatkan perempuan pada posisi yang rawan mengalami kekerasan seksual.

Kebebasan di kalangan media untuk menayangkan konten merusak terutama yang mengandung pornografi dan pornoaksi juga menjadi penyebab maraknya kekerasan seksual.

Survei KPAI bahwa selama pandemi 22% anak telah melihat tayangan tidak sopan dan bermuatan pornografi yang jumlahnya terus meningkat yaitu 1.101.324 pada tahun 2021.

Sedangkan Kementerian Komunikasi dan Informatika, sejak 2018- September 2021 telah memblokir 1.096.395 konten porno.
Namun seperti kata pepatah, mati satu tumbuh seribu, konten seperti ini justru semakin banyak.

Maka mengandalkan UU TP-KS untuk memberantas kekerasan seksual seakan jauh panggang dari api. Terlebih ruh yang dibawa oleh UU TP-KS adalah liberalisme atau paham kebebasan. Maka yang terjadi alih-alih menyelesaikan masalah, justru menimbulkan masalah baru yaitu makin maraknya perzinaan dan pergaulan bebas.

Islam Solusi Kekerasan Seksual Dan Perzinaan

Islam adalah agama sempurna yang diturunkan Allah, Dzat Yang Maha Mengetahui, untuk menjadi problem solving bagi permasalahan manusia.

Islam punya solusi untuk kasus kejahatan seksual, baik penanggulangannya (kuratif) maupun pencegahannya (preventif) dengan beberapa mekanisme.

Pertama, menerapkan sistem pergaulan Islam yang mengatur interaksi laki-laki dan perempuan, baik ranah sosial maupun privat. Dasarnya adalah akidah Islam. Sistem Islam akan menutup celah bagi aktivitas yang mengumbar aurat atau sensualitas di tempat umum. Kejahatan seksual bisa terpicu rangsangan dari luar yang kemudian memengaruhi naluri seksual (gharizah an-nau’).

Islam juga membatasi interaksi laki-laki dan perempuan selain di sektor yang memang membutuhkan interaksi tersebut, seperti pendidikan (sekolah), ekonomi (perdagangan, pasar), dan kesehatan (rumah sakit, klinik, dan sebagainya).

Kedua, Islam memiliki sistem kontrol sosial berupa amar makruf nahi mungkar, saling menasihati dalam kebaikan dan ketakwaan, juga menyelisihi terhadap segala bentuk kemaksiatan. Tentu semuanya dengan cara yang baik.

Ketiga, Islam memiliki sistem sanksi tegas terhadap pelaku kejahatan seksual. Contohnya, sanksi bagi pelaku tindak perkosaan berupa had zina, yaitu rajam (dilempari batu) hingga mati jika pelakunya muhshan (sudah menikah); dan jilid (cambuk) 100 kali dan diasingkan selama setahun jika pelakunya ghairu muhshan (belum menikah).

Hukuman tegas ini akan memberikan efek jera (zawajir) kepada si pelaku sekaligus penghapus dosa (jawabir) ketika sampai waktunya pada Yaumil Hisab nanti.

Keempat, menjadikan ketakwaan individu dan keluarga sebagai benteng yang melindungi dari perbuatan maksiat.
Didukung sistem pendidikan Islam yang akan membentuk kepribadian Islam sehingga masyarakat senantiasa terikat dengan hukum syariat dalam setiap perbuatannya.

Kelima, negara melindungi masyarakat dari setiap hal yang bisa merusak agama, moral, dan kehidupan. Misalnya narkoba, minuman keras, pornografi, pornoaksi dan sebagainya.
Media digunakan untuk menyebarkan konten-konten yang memperkuat keimanan dan pemahaman Islam.

Hanya saja, mekanisme Islam ini akan terlaksana dengan baik jika ada institusi yang melaksanakan syariat Islam kafah, yaitu Khilafah Islamiah, bukan institusi sekuler liberal.

Wallahu a’lam bishawab.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 4

Comment here