Oleh: Nita Kurnia (Ibu Rumah Tangga dan Aktivis Dakwah)
Wacana-edukasi.com — Sudah hampir satu tahun lamanya Indonesia dilanda pandemi. Berbagai upaya pemerintah memutus mata rantai penyebaran covid-19 pun masih terus berlanjut, mulai dari kebijakan new normal, PSBB, PSBM dan PPKM. Namun, virus makin berkembang dan memakan banyak korban. Kebijakan yang pragmatis dan cenderung tidak serius membuat permasalahan masyarakat semakin kompleks. Kini, pemerintah bergantung pada upaya vaksinasi untuk membentuk kekuatan kelompok (herd imunity).
Begitu seriusnya pemerintah pada program ini sampai-sampai telah dilakukan kontrak pembelian vaksin. Dikutip dari voaindonesia.com (13/1/21), Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menjelaskan pemerintah sudah memiliki kontrak yang pasti untuk membeli sekitar 270 juta dosis vaksin covid-19.
Sebelumnya, Indonesia telah mengimpor vaksin sebanyak 50 juta dosis dari pabrikan vaksin Amerika Serikat-Kanada Novavax, 50 juta dosis dari kerjasama multilateral WHO dan Aliansi Vaksin Dunia, 50 juta dosis dari pabrikan Inggris Astra Zeneca, 50 juta dosis dari perusahaan gabungan Jerman-Amerika Serikat Pfizer BioNTech dan yang terbesar diimpor dari perusahaan farmasi Cina sebanyak 125,5 juta dosis.
Untuk menyukseskan program vaksinasi tersebut, pemerintah bahkan menyiapkan sanksi bagi pihak yang menolak diberi vaksin.
Padahal kebijakan vaksinasi yang ditetapkan pemerintah tersebut menuai banyak kontroversi, mulai dari proses uji klinis, efektivitas dan juga zat yang terkandung di dalamnya. Keraguan ini wajar adanya, sebab melihat track record pemerintah yang cenderung abai terhadap rakyat dan hanya mementingkan elit politiknya.
Belum lagi dalam sistem kapitalisme kepentingan ekonomi di atas segalanya. Sudah bukan rahasia lagi segala bidang dikomersialisasikan oleh pemerintah untuk meraup keuntungan dari rakyatnya. Begitu pun dalam kondisi pandemi, banyak pihak yang menganalisis kebijakan vaksinasi ini syarat akan kepentingan bisnis.
Salah satu pihak yang mengungkapkan hal ini adalah Anggota Komisi IX DPR Ribka Tjiptaning. Dalam rapat kerja bersama Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, ia mengimbau dengan tegas negara tidak boleh berbisnis dengan rakyat.
Lantas, bagaimana langkah yang harus kita ambil dalam menyikapi berbagai kontroversi yang ada ini?
Vaksinasi adalah proses pemberian vaksin melalui suntik maupun tetes ke dalam mulut untuk meningkatkan produksi antibodi guna menangkal penyakit tertentu.
Maka, vaksin diharapkan akan memberikan hasil efektif dalam mengatasi pandemi. Vaksinasi ini dilakukan untuk menyempurnakan langkah-langkah pencegahan penularan virus covid-19 di samping prokes, seperti memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak.
Lebih lanjut, vaksinasi massal yang diprogramkan pemerintah diharapkan dapat mendorong terbentuknya herd imunity.
Herd imunity (Kekebalan kelompok) adalah suatu bentuk perlindungan tidak langsung dari penyakit menular yang terjadi ketika sebagian besar populasi menjadi kebal terhadap infeksi, baik melalui infeksi sebelumnya atau vaksinasi, sehingga individu yang tidak kebal ikut terlindungi (Wikipedia).
Selain memulihkan sektor kesehatan, keberhasilan langkah vaksinasi juga diharapkan akan memulihkan sektor ekonomi dan sosial yang sudah lama lumpuh.
Kendati demikian, vaksin bukan solusi terakhir dalam mengatasi pandemi. Terlebih, vaksin yang dibeli pemerintah Indonesia dari Cina belum terbukti kualitasnya. Uji klinis 3 (tiga) pada vaksin sinovac hingga kini belum usai, tentu ini akan membahayakan rakyat.
Menilik soal hukum vaksin sndiri, Islam telah menetapkan bahwa vaksin hukumnya sunah sebagaimana hukum asal berobat. Namun, kesunahan tersebut bisa berubah hukumnya mengikuti perkara yang menyertainya.
Dirangkum dari kajian fikih oleh KH. Shiddiq Al Jawi, ada lima hukum turunan dari vaksin, yaitu:
Pertama, hukum asal vaksin adalah sunah dengan dua syarat yakni bahan tidak mengandung zat najis dan tidak menimbukan madarat. Hukum berobat yang asalnya sunah bisa menjadi wajib jika penyakitnya berat dan mengancam jiwa.
Kedua, hukum uji klinis adalah mubah (boleh) dalam pembuatan obat. Namun, jika uji klinis berpotensi mengancam jiwa maka hukumnya menjadi haram.
Ketiga, hukum seputar politik kesehatan Islam. Negara diharamkan menetapkan harga dalam prihal kesehatan. Maka, vaksin harus diberikan secara gratis kepada rakyat.
Keempat, hukum pengadaan vaksin dari luar negeri. Islam melarang beruamalah dengan negara kafir harbi (negara yang memerangi Islam). Republik Rakyat Cina terbukti memerangi umat Islam secara masif.
Kelima, hukum vaksinasi paksa dengan sanksi denda.
Allah Swt. berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS An-Nisa: 59)
Islam hanya mewajibkan umatnya menaati Ulil Amri yang menerapkan syariah Islam secara sempurna. Maka, menaati penguasa saat ini tidaklah wajib bagi umat Islam, karena mereka tidak memenuhi definisi Ulil Amri sabagaimana yang dimaksud. Dengan demikian, denda itu haram hukumnya karena dua alasan, pertama: penguasa yang ada sekarang bukan Ulil Amri yang wajib ditaati menurut syariah Islam; kedua: umat tidak rida akan denda yang diberikan sehingga itu akan menjadi harta haram yang akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak.
Sedari awal adanya pandemi, pemerintah sudah salah kaprah dalam menentukan kebijakan. Berbeda dengan Islam yang memiliki sistem pemerintahan yang khas dan konsep yang jelas dalam menangani wabah.
Dalam konsep negara Islam, vaksinasi dilakukan setelah melaksanakan strategi mitigasi. Ketika awal munculnya wabah, khalifah (pemimpin negara) akan memberlakukan sistem karantina dan juga tes massal gratis guna melacak penyebaran virus, setelah itu dilakukan pengobatan gratis bagi para penderita penyakit hingga sembuh melalui fasilitas kesehatan yang berkualitas. Sedangkan bagi para tenaga kesehatan, negara akan memberikan fasilitas jaminan keselamatan yang cukup dan memadai. Langkah selanjutnya yang dilakukan adalah memenuhi kebutuhan pokok rakyat terutama yang terdampak wabah. Dan yang terakhir, negara akan menyediakan dana yang cukup untuk melakukan riset vaksin.
Demikianlah, selain merupakan kewajiban bagi kaum muslim menerapkan syariat Islam secara sempurna, Islam juga terbukti memiliki solusi komprehensif dalam menangani wabah. Maka, tidak ada pilihan lain bagi umat Islam selain kembali kepada sistem khilafah ala minhajinnubuwwah.
Wallahua’lam bishshawab
Views: 11
Comment here