Opini

Valentine’s Day, Nafsu dalam Balutan Cinta

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh: Chaya Yuliatri, S.S.

Wacana-edukasi.com — Bulan Februari adalah momen yang ditunggu-tunggu para kawula muda. Bulan yang ditandai dengan simbol cinta, bunga, dan cokelat ini, puncaknya adalah 14 Februari atau lebih dikenal sebagai Valentine’s Day, hari kasih sayang. Hari valentine identik dengan saling mengucapkan ‘Happy Valentine’s Day’, serta saling bertukar kado dan kartu ucapan. Momen ini dimanfaatkan mal dan supermarket untuk menarik pengunjung dengan memberikan diskon khusus hari valentine. Mereka juga berlomba menjual ornamen khas valentine seperti bunga, cokelat, boneka, dan kartu ucapan.

Bukan hanya mal dan supermarket, bahkan, para pedagang kecil pun mengaku omzet meningkat drastis menjelang hari valentine. Seperti, pedagang bunga di Tangerang Selatan yang omzetnya naik hingga 50% (kompas.com, 13/2/2021).

Ternyata, bukan hanya bunga, cokelat, boneka dan pernak-pernik lainnya, penjualan kondom pun meningkat drastis (manado.tribunnews.com, 13/2/2020).

Miris, inilah potret buram generasi muda saat ini. Para kapitalis memanfaatkan momen hari valentine demi kepentingan bisnis dan mengampanyekan seks bebas. Mereka tidak sadar sudah menjadi korban keserakahan para kapitalis. Penginapan dan hotel-hotel laris manis, menjadi tempat para kawula muda melampiaskan nafsu syahwat. Berkedok hari kasih sayang, tetapi berakhir di ranjang. Membalut nafsu dengan ungkapan cinta, sehingga tidak sadar sudah jatuh ke jurang zina. Dengan alasan suka sama suka, melakukan perbuatan yang harusnya dihindari sebelum halal. Inilah pemikiran khas para kafir Barat untuk melegalkan zina.

Sehingga, jelas bahwa hari valentine adalah salah satu momen untuk membuka selebar-lebarnya pintu zina. Padahal, setiap tahun, menjelang hari valentine sudah banyak himbauan dari para ulama dan ustadz untuk tidak merayakannya. Karena, hari valentine bukanlah budaya Islam. Dan Islam mengharamkan untuk merayakan hari valentine karena ini termasuk tasyabbuh. Dalam hal ini, mengikuti kebudayaan umat agama lain.

Sebenarnya, dari mana budaya ini berasal? Ada dua versi yang sering kita jumpai terkait asal mula hari valentine. Yang pertama yaitu bermula dari seorang pendeta asal Roma di abad 3 Masehi bernama Santo Valentine. Dan yang kedua, berasal dari tradisi Romawi yang dikenal dengan Festival Lupercalia.

Terlepas yang mana asal-usul sebenarnya, sudah jelas bahwa hari valentine tidak berasal dari ajaran Islam. Dan, haram bagi umat Islam mengikuti, walaupun hanya sekedar ucapan selamat. Sayangnya, sampai saat ini sebagian besar umat Muslim masih disibukkan mengikuti tradisi kufur tersebut. Kenapa hal ini bisa terjadi?

Pertama, mari kita lihat sistem yang diterapkan saat ini, sistem kapitalisme sekuler. Sistem yang dengan tegas memisahkan agama dari kehidupan. Sistem yang tidak mau diatur dengan aturan Allaah, dan justru menuhankan aturan buatan manusia. Segala sesuatu dilakukan atas dasar manfaat dan demi meraup keuntungan sebesar-besarnya. Sistem ini melahirkan sistem pendidikan yang juga rusak. Mengajarkan bahwa Islam hanyalah agama ritual dan tidak mengatur seluruh sendi kehidupan. Sehingga, generasi muda semakin jauh dari pemahaman Islam yang benar. Oleh karena itu, output-nya adalah generasi miskin moral dan akhlak. Melakukan segala sesuatu hanya demi kesenangan semata. Membuang-buang waktu untuk melakukan hal-hal yang tidak bermanfaat. Tidak tahu apa tujuan hidup di dunia.

Kedua, kesalahan dalam pemenuhan gharizah nau atau naluri melestarikan keturunan. Allaah Subhnahu wa taala menciptakan manusia dengan seperangkat potensi dalam dirinya yaitu berupa gharizah (naluri) dan hajatul adhawiyah (kebutuhan jasmani). Gharizah ini terbagi menjadi tiga yaitu gharizah nau, gharizah baqa, dan gharizah tadayyun.

Dalam Islam, pemenuhan gharizah nau adalah dengan ikatan pernikahan, dan jika belum mampu maka dianjurkan untuk berpuasa. Sedangkan, dalam sistem kapitalisme yang menganut paham seks bebas, maka penyaluran gharizah nau tidak memerlukan ikatan pernikahan. Pasangan yang belum menikah bebas melakukan hubungan tanpa adanya ikatan, hanya atas dasar suka sama suka. Nah, paham inilah yang diadopsi oleh generasi muda saat ini. Ini adalah side effect diterapkannya sistem kapitalisme sekuler di negara ini.

Konsep sekularisme sudah demikian merasuk dalam sendi-sendi kehidupan. Kehancuran generasi sudah didepan mata. Hanya Islamlah solusi atas segala problematika ini. Dengan ditegakkannya tiga pilar, maka kerusakan generasi dapat teratasi. Tiga pilar tersebut yaitu ketakwaan individu, masyarakat yang peduli, dan negara yang menerapkan syariah.

Ketakwaan individu adalah keterikatan manusia dengan hukum syara’ yang terwujud dalam pola pikir dan pola sikap islami. Senantiasa menaati perintah Allaah dan menjauhi larangan-Nya. Menjadikan Al-Qur’an dan As-Sunah sebagai sandaran hidupnya. Melakukan segala aktivitas dalam hidupnya semata-mata demi mendapat rida Allah. Kedua, masyarakat yang peduli adalah masyarakat islami yang senantiasa menyerukan amar makruf nahi mungkar. Sehingga, jika ada individu yang menyimpang dari kebenaran, akan segera diluruskan. Ketiga, negara yang menerapkan syariah yaitu saulah Islam. Hanya dalam naungan daulah maka syariah kafah bisa diterapkan, dan terwujudlah Islam rahmatan lil ‘alamin.

Wallahua’lam bishshawab

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 54

Comment here