OLEH : ZUHARMI. H, S. Si (Pendidik dan Pegiat Literasi Kendari)
wacana-edukasi.com– Beberapa waktu lalu, dunia maya dihebohkan dengan viralnya seorang mahasiswa berusia 22 tahun asal Semarang, Jawa Tengah yang berhasil mendulang rupiah dengan memanfaatkan sebuah aplikasi internet. Aplikasi tersebut adalah Opensea Platform Marketplace yang biasa digunakan oleh penjual, pembeli dan kreator digital untuk bertransaksi dengan mata uang kripto ethereum (ETH) .
Pria bernama lengkap Sultan Gustaf Al Ghozali menjual foto selfienya selama lima tahun di aset investasi turunan kripto yaitu Non-Fungible Token atau NFT. NFT sendiri adalah platform baru untuk media koleksi digital dan menawarkan imbalan besar kepada para seniman, musisi, kreator, dan influence dari investor yang bersedia untuk membayar aset NFT mereka. Untuk bisa melakukan jual beli asset NFT diwajibkan memiliki mata uang kripto (cnbcindonesia.com, 17/01/2022). Tak tanggung-tanggung, penghasilan Ghozali dari aplikasi tersebut diperkirakan mencapai milyaran rupiah. Sungguh fantastis.
Tak ayal, keberhasilannya tersebut membuat gairah milenial dalam memburu ‘cuan’ pada aplikasi digital marak. Tawaran yang serupa bermunculan di NFT, berupa foto selfie biasa, foto selfie bareng KTP, bahkan yang lebih ekstrim terdapat oknum yang ‘menjual anak’ dengan menjadikan foto anak tersebut sebagai aset NFT. Selain itu, milenial mulai melirik jenis investasi digital, cryptocurrency, forex, permainan saham dan lainnya.
Tak bisa dimungkiri, saat ini investasi digital adalah tren baru dunia era digital 4.0 yang banyak diminati masyarakat utamanya generasi milenial. Iming-iming mendulang rupiah pada bisnis ini begitu menggoda. Tak heran, oleh sebagian kalangan bisnis ini adalah sebagai bisnis yang menjanjikan.
Bila dicermati, investasi digital atau investasi online yang didukung oleh kecanggihan teknologi digital telah memberikan ruang yang luas bagi semua kalangan masyarakat. Hemat waktu, simpel, transparan dan modal yang tidak terlampau besar menjadi keunggulan bisnis digital ini. Investasi digital dapat berupa reksadana, saham, tabungan emas secara online, forex, surat berharga negara dan tabungan berjangka.
Keuntungan yang diperoleh masih sebagian besar bersifat digital atau maya. Inilah sebenarnya letak kelemahan yang perlu diwaspadai oleh setiap orang. Keberhasilan yang telah diperoleh di ranah digital belum menjadi jaminan keberhasilan nyata yang diterima.
Selain itu, mata uang yang digunakan dalam transaksi ini dapat berupa mata uang Bitcoin atau uang kripto sebagai alat tukar digital atau mata uang elektronik. Dikutip dari Wikipedia, mata uang digital adalah seluruh mata uang, uang atau aset serupa uang yang dikelola, disimpan atau dapat ditukar melalui sistem komputer digital melalui jaringan internet.
Ketiadaan kontrol bank dan pemerintah menjadikan mata uang ini beredar bebas di dunia maya dan hanya bersandarkan kepada kriptografi dan software antarkomputer.
Kemudahan bertransaksi dan berinvestasi tentu saja sesuatu yang sangat baik dan perlu diapresiasi, akan tetapi diperlukan kehati – hatian dalam menjalani aktivitas tersebut. Apalagi sebagai seorang muslim yang sikap dan perbuatannya terikat dengan hukum Allah SWT, diperlukan kewaspadaan dalam menyikapti bisnis tersebut karena sangat rentang terhadap penyimpangan terhadap hukum-hukum Islam.
Tak bisa dipungkiri, arus digitalisasi yang sejalan dengan liberalisme di setiap lini menjadi sebagian besar masyarakat utamanya pelaku ekonomi digital tak lagi peduli terhadap rambu-rambu Islam yang mengatur kerjasama dalam bermuamalah. Paham kebebasan yang saat ini diterapkan, tidak menjadikan halal haram sebagai patokan dalam beraktivitas. Maka wajar saja atas nama keuntungan yang berlipat ganda, membuat abai terhadap hukum syariat yang terkait dengan aktivitas tersebut. Inilah yang mesti dihindari.
Maraknya investasi digital saat ini membuat, begitu banyak transaksi yang menuntut kesesuaiannya dengan syariat. Khusus berkaitan dengan jual beli mata uang yang berbeda jenis sebagaimana pada fakta trading seperti forex dan penggunaan mata uang Bitcoin.
Dalam Islam, jual beli mata uang (currency) wajib secara cash (kontan) dan serah terima/taqabudh berlangsung dalam satu majelis. Selain itu, tidak boleh ada riba dalam setiap transaksi.
Menurut Pengamat pasar modal dari Universitas Indonesia (UI) Budi Frensidy mengatakan bahwa Bitcoin sebagai cryptocurrency adalah investasi yang murni spekulasi. Bahkan dia menilai resiko berinvestasi di Bitcoin jauh lebih tinggi dibandingkan di pasar saham karena tidak adanya dasar menghitung fundamental (Tribunnews.com, 17/2/2021).
Majelis Ulama Indonesia (MUI) sendiri telah menetapkan fatwa haram untuk penggunaan mata kripto atau cryptocurrenty seperti Bitcoin, Ethereum, Dogecoin, Solana, Polkadot, dan Shiba Inu. Keharaman tersebut disahkan dalam Forum Ijtima Ulama Se-Indonesia ke-VII pada 11 November 2021 lalu (kontan.co.id,12/11/2021).
Selain itu, menurut asy Syaikh Atha’bin Khalil Abi ar Rasytah dalam assalim.id, 29/4/2021, menyebutkan bahwa sesuatu yang disebut mata uang jika memenuhi tiga syarat berikut :
sebagai standar untuk barang dan jasa, yakni terpenuhinya ‘illat moneter yakni pada waktu itu sebagai harga dan upah. Bitcoin dan sejenisnya hanya sebagai alat tukar untuk barang dan jasa tertentu saja dikeluarkan oleh sebuah otoritas legal dan dan diketahui secara luas. Otoritas legal di sini adalah sebuah negara atau lembaga yang ditunjuk negara yang menetapkan uang tersebut sebagai mata uang. Bitcoin dan sejenisnya tidak ditetapkan oleh otoritas legal dan bahkan oleh negara sekali pun.
tersebar luas di tengah masyarakat. Bitcoin dan sejenisnya hanya khusus untuk orang yang megedarkan dan menyetujui nilainya saja, tidak berlaku untuk masyarakat umum.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka penggunaan Bitcoin dan sejenisnya sebagai mata uang adalah tidak sah menurut pandangan syariat. Sehingga, dapat dikatakan bahwa Bitcoin dan sejenisnya mengandung gharar. Al gharar adalah al-mukhatharah (pertaruhan) dan al-jahalah (ketidakjelasan). Jika suatu transaksi mengandung hal ini maka mendekati maysir (perjudian). Selain itu, penggunaan transaksi digital ini berpotensi dalam memperoleh tambahan biaya atau bunga dari mata uang yang diperjualbelikan. Tambahan uang atau biaya di luar biaya administrasi dapat dikategorikan sebagai riba.
Untuk itu, sebagai seorang muslim haruslah senantiasa berhati-hati dalam bertransaksi baik secara konvensional maupun secara digital agar tidak terjebak kepada perbuatan yang melanggar hukum syariat. Peranan pemerintah juga sangat diperlukan dalam mengatur segala transaksi digital agar masyarakat luas tidak terjebak kepada perbuatan yang melanggar hukum Allah SWT. Wallahu A’lam.
Views: 11
Comment here