Seharusnya sejak awal mula pemerintah langsung mengambil tindakan pencegahan. Sebagai wujud keseriusan dalam mengatasi persoalan. Sayangnya di sistem kapitalisme menistakan hal demikian. Jika sudah menyebar barulah sibuk mencari penanganan, itupun tak sampai menyentuh akar.
Oleh : Masitah (Pegiat Media Maros)
wacana-edukasi.com, SURAT PEMBACA– Indonesia menangguhkan impor sapi dari 4 peternakan sapi di Australia. Karena sapi terdeteksi secara klinis memiliki penyakit Lumpy Skin Diseases (LSD). LSD masuk Indonesia sejak Februari 2022 dan telah menjadi virus endemi di Indonesia.
Jumlah kasus lumpy skin disease (LSD) atau penyakit kulit pada sapi di Kota Blitar mengalami peningkatan. Menurut data yang dirilis oleh Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian (DKPP) Kota Blitar, tercatat sebanyak 70 laporan kasus LSD pada sapi hingga akhir Juli 2023.
Plt Kepala DKPP Kota Blitar, Dewi Masitoh, mengungkapkan bahwa 70 ekor sapi telah dilaporkan terkena LSD berdasarkan data dari Siknas (Sistem Informasi Kesehatan Nasional). Dia juga menambahkan bahwa dari 70 ekor sapi tersebut, hanya sekitar 20 persen yang telah sembuh.
Langkah yang ditempuh negara dinilai lambat padahal penyakit ini membuat peternak rugi karena menyebabkan harga jual sapi menjadi menurun. Vaksinasi yang menjadi langkah efektif mencegah penyakit ini belum masif dikerjakan. Padahal ini langkah efektif yang harus dikerjakan di Indonesia untuk mencegah penularan penyakit ternak ini agar peternak terhindar dari kerugian, dan pasokan daging sapi sebagai salah satu sumber protein tetap terjaga.
Jika kondisi ini tak segera diselesaikan maka harga daging sapi akan mengalami kenaikan. Tentu ini akan memberatkan masyarakat. Belum lagi akan sulit dijumpai kualitas daging yang baik.
Namun, tidak heran dalam sistem Kapitalisme sudah menjadi hal wajar dalam lambatnya menangani suatu persoalan. Belajar dari penanganan kasus covid 19 yang sangat lambat dalam meminimalisir penyebaran, pun seperti penyebaran LSD pada sapi.
Seharusnya sejak awal mula pemerintah langsung mengambil tindakan pencegahan. Sebagai wujud keseriusan dalam mengatasi persoalan. Sayangnya di sistem kapitalisme menistakan hal demikian. Jika sudah menyebar barulah sibuk mencari penanganan, itupun tak sampai menyentuh akar.
Mindset kapitalisme yang berpacu pada keuntungan atau materi belaka, menjadi salah satu alasan lambatnya menangani masalah. Bagaimana tidak, segala hal yang dapat menghasilkan keuntungan pasti akan di bisniskan.
Sejatinya saatnya kita kembali pada penerapan Islam secara keseluruhan. Islam menetapkan negara peduli dan bertanggung jawab melindungi kebutuhan rakyat dan juga peternak agar terhindar dari kerugian.
Langkah pencegahan dan antisipasi akan dilakukan oleh negara sebagaai wujud tanggung jawabnya sebagai pengelola urusan rakyat. Karena pada dasarnya negara berkewajiban untuk mengurus seluruh urusan rakyatnya. Sebab seorang pemimpin memahami bahwa jabatan adalah sebuah amanah yang akan dimintai pertanggung jawaban.
Kepemimpinan Islam telah membuktikan keberhasilan yang telah di raih. Sistem keadilan, keamanan dan kesejahteraan benar-benar terwujud. Dalam hal pencegahan persoalan pun demikian, ada tindakan pencegahan yang dilakukan sebelum menyebar luas. Kalaupun telah menyebar pemimpin pun langsung mengambil langkah cepat untuk segera menyelesaikan.
Seperti apa yang telah dialami oleh Khalifah Umar Bin Al-Khaththab saat terjadi wabah di suatu wilayah dibawah kepemimpinan Islam. Beliau benar-benar membatasi akses dengan cara mengisolasi wilayah yang positif wabah. Namun tetap mengontrol pemenuhan segala kebutuhan masyarakat yang diisolasi.
Dari sini kita belajar, bahwa seorang pemimpin adalah pengurus rakyat yang di pimpinnya bukan sebaliknya. Kemudian dengan keimanan yang di miliki oleh individu memunculkan sikap takwa berupa sabar ketika diuji dengan cobaan. Wallahu’alam Bisshawab
Views: 2
Comment here