Oleh : Nurul Afifah
wacana-edukasi.com , Satuan Tugas (Satgas) penanganan Covid-19 mencatat lonjakan kasus pandemi mulai terjadi di enam provinsi luar Pulau Jawa-Bali dalam satu bulan terakhir. Enam provinsi tersebut diantaranya, Sumatera Utara mengalami kenaikan kasus aktif 21.830, Kalimantan Timur naik 15.758, Sulawesi Selatan naik 10.852, Sumatera Barat naik 10.707 , Riau naik 10.523 dan Kalimantan Selatan naik 10.087 kasus aktif. (Suara.com, 12/08/2021).
Peningkatan kasus Covid-19 tidak terjadi hanya di 6 provinsi, tetapi sudah merembet ke provinsi yang lain. Epidemiolog dari Universitas Gadjah Mada, Donie Riris Andono, berkata kenaikan kasus aktif di luar Pulau Jawa merupakan peristiwa yang sudah diprediksi lantaran pemerintah tidak sungguh-sungguh menghentikan mobilitas masyarakat ketika Jawa-Bali mengalami puncak kenaikan pada Juni lalu. Ledakan infeksi virus di pulau-pulau lain akan terjadi secara beruntun dengan kondisi yang lebih buruk (bbc.com, 9/8/2021).
Sediaan fasilitas layanan kesehatan yang terbatas, kesiapan masyarakat luar Jawa yang buruk, ditambah putusan pemerintah yang tidak melockdown Jawa-Bali seharusnya menjadikan pemerintah membuat langkah antisipasi agar ledakan kasus tidak sampai terjadi di luar Jawa. Namun, hal tersebut tak dilakukan. Fakta ini menunjukkan tidak seriusnya penguasa dalam penanganan wabah, sekaligus menegaskan lalainya penguasa dalam menjaga keselamatan rakyatnya.
Wabah adalah masalah kesehatan maka pertimbangan utama pengambilan kebijakan wajib memprioritaskan kesehatan bukan ekonomi. Realitasnya, dalam kepemimpinan kapitalis semua kebijakan yang diambil pemerintah selalu memprioritaskan ekonomi daripada kesehatan dan kemaslahtan rakyatnya. Wajar, asas penerapan sistem kapitalis adalah materi. Sebagai contoh, pemerintah enggan mengambil kebijakan lockdown karena membutuhkan banyak biaya dan lebih memilih PPKM Darurat. Alhasil wabah tak kunjung usai malah melandai. Sebab, PPKM Darurat hanya membatasi mobilitas masyarakat bukan mencegah, sehingga masyarakat masih bisa keluar masuk dan hal ini memudahkan tersebarnya virus semakin luas.
Sejarah telah mencatat bahwa wabah bukan hanya terjadi sekali di muka bumi. Pada masa Rasulullah dan Kekhalifahan Umar bin al-Khaththab pernah terjadi wabah penyakit menular dan mematikan. Namun, kejadiannya tidak sampai berlarut-larut dan menimbulkan efek domino yang berkepanjangan sampai saat ini.
Rasulullah dan Umar bin al-Khaththab telah mencontohkan bagaimana seharusnya penguasa bertanggungjawab atas persoalan rakyat yang mendera, diantaranya dalam menghadapi wabah. Pada saat terjadi wabah, Rasulullah dan Khalifah Umar bin al-Khaththab mengambil kebijakan lockdown atau penguncian wilayah, memisahkan secara total orang yang sakit dan yang sehat untuk memutus rantai penyebaran virus dari satu orang ke orang lainnya dan dari satu wilayah ke wilayah lainnya. Sebagaiman sabda Nabi saw,
إِذَا سَمِعْتُمْ بِالطَّاعُونِ بِأَرْضٍ فَلاَ تَدْخُلُوهَا، وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلاَ تَخْرُجُوا مِنْهَا
“Jika kalian mendengar wabah terjadi di suatu wilayah, janganlah kalian memasuki wilayah itu. Sebaliknya, jika wabah itu terjadi di tempat kalian tinggal, janganlah kalian meninggalkan tempat itu.” (HR al-Bukhari).
Pelaksanaan lockdown ini merupakan satu-satunya solusi syar’i yang terbukti dalam mengatasi wabah dan ini sudah dicontohkan oleh Rasulullah sejak 14 abad silam.
Selama penguasa enggan mengambil solusi syar’i (lockdown) maka tidak akan tuntas permasalahan yang terjadi akibat wabah dan akan semakin berpeluang bertambahnya korban yang berjatuhan. Sedangkan, Islam memerintahkan pentingnya menjaga jiwa. Di mana hilangnya nyawa seorang Muslim, jauh lebih berat dibandingkan hancurnya Ka’bah dan alam semesta. Allah SWT berfirman (yang artinya): “…Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya.” (TQS. Al-Maidah [5]: 32).
Wallahu’alam bishowab.
Views: 1
Comment here