Opini

Wajibnya Aktivitas Perubahan untuk Menegakkan Khilafah

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh : Damae Mafazaa

wacana-edukasi.com, Pada bulan Rajab ini, tepat 100 tahun kaum muslim kembali memperingati runtuhnya Khilafah Islamiyyah. Perisai yang menjadi junnah bagi kaum muslim di seluruh dunia. Kehormatan dan kemuliaan diantara negeri-negeri Islam telah hilang. Sebutan “khoiru ummah” pada diri kaum muslim pun hanya tinggal cerita. Layaknya anak ayam yang kehilangan induknya. Banyak umat Islam sendiri tidak menyadari tentang kesempurnaan Islam dan hal ini disebabkan oleh musuh-musuh Islam.

Hal ini diungkapkan secara terbuka oleh mantan Menteri Luar Negeri Inggris Lord Curzon ketika ia menyatakan: “Kita harus mengakhiri segala sesuatu yang dapat mengantarkan pada persatuan Islam ditengah anak muslim. Kita telah berhasil membinasakan Khilafah, maka kita harus memastikan bahwa tidak akan pernah ada lagi persatuan bagi umat Islam, baik itu persatuan intelektual dan budaya (tsaqafah).”
Untuk itu, kaum muslim di seluruh dunia harus bangkit dan berupaya mewujudkan kembali Khilafah ‘ala Minhaj Nubuwah. Karena berjuang menegakkan negara Islam yang akan menerapkan hukum-hukum Allah, hukum asalnya adalah fardhu kifāyah. Namun, mengingat bahwa fardhu kifāyah itu belum juga berhasil diwujudkan dengan upaya mereka yang memperjuangkannya, maka kewajiban ini diperluas hingga mencakup setiap Muslim. Begitulah kedudukan dari setiap fardhu kifāyah.

Dalil atas kewajiban memperjuangkan tegaknya negara Islam adalah dalil yang qath’iy tsubut (sumbernya pasti) dan qath’iy dilalah (maknanya pasti). Sehingga mengingkari kewajiban ini bisa menjadikannya kafir. Sementara orang yang mengakuinya, namun ia abai dan lengah dalam memperjuangkannya, maka ia bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya. Dalil dalam hal ini adalah nash-nash yang memerintahkan agar terikat dengan syariah Islamiyah dan berhukum dengannya, serta melarang berhukum pada yang selainnya. Seperti firman Allah SWT: “Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya.” (TQS Al-A’rāf [7] : 3)

Adapun berjuang dengan sekuat tenaga sebagai kewajiban setiap Muslim, maka hal ini juga dalilnya adalah qath’iy tsubut (sumbernya pasti) dan qath’iy dilalah (maknanya pasti), sehingga orang yang mengingkarinya bisa menjadi kafir, sedang orang yang lalai dan lengah terhadap kewajiban ini, maka ia tergolong orang yang bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya, seperti firman-Nya: “Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.” (TQS At-Taghābun [64] : 16)
Ketika Allah SWT berfirman: “Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.” (TQS At-Taghābun [64] : 16). Artinya semua kekuatan kalian, bukan separuh, sepertiga atau seperempatnya. Ketika seorang Muslim melihat kemungkaran di sekelilingnya secara umum dan mewabah, maka ia diperintahkan untuk mengubahnya dengan semua kekuatannya, bukan sebagian kekuatannya.
Rasullullah bersabda: “Siapa saja yang melihat kemunkaran, maka ubahlah kemunkaran itu dengan tangannya; jika tidak mampu, maka dengan lisannya; dan jika tidak mampu juga, maka dengan hatinya, meski yang terakhir itu menandakan selemah-lemahnya iman.” (HR Muslim)

Pernyataan “jika tidak mampu” dalam hadits tersebut menunjukkan bahwa ia telah menggunakan semua kekuatannya hingga ia tidak mampu lagi. Di sini ada sebagian yang salah dalam memahaminya, sehingga rancu antara berjuang menegakkan negara Islam dengan mendirikannya secara langsung. Karennya apabila mereka berkata: “Kami tidak mampu melengserkan rezim yang ada untuk mendirikan negara Khilafah sebagai gantinya. Sebab kami tidak mampu, maka kami tidak dibebani tanggung jawab atas itu, karena “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” Pernyataan ini bisa merupakan hasil dari ketidaktahuan, kebencian, atau penyesatan.

Untuk menghilangkan kesalahan ini, maka jika kelompok yang tengah berjuang menegakkan Khilafah itu mampu menegakkannya dengan segera, maka mereka tidak boleh menundanya. Jika mereka tidak mampu segera, maka mereka wajib berjuang, mempersiapkan dan meningkatkan kekuatannya untuk menyukseskan perjuangannya ini, meski itu akan terwujud setelah beberapa saat. Mereka yang tidak mampu mewujudkan tujuan dengan segera, maka mereka harus memperjuangkannya dengan sekuat tenaga untuk mewujudkannya ketika mereka bisa.
Ketika seorang Muslim sekarang diwajibkan dengan fardhu ‘ain untuk berjuang menegakkan negara Islam dengan sekuat tenaga, maka itu artinya bahwa ia harus meninggalkan banyak aktivitas mubah dan perbuatan-perbuatan sunnah jika mereka tengah disibukkan dengan melakukan kewajiban ini. Seorang Muslim harus bekerja untuk mencari nafkah dirinya dan keluarganya, ini adalah fardhu ‘ain baginya, dan mengemban dakwah untuk menegakkan Khilafah (sekarang) fardhu ‘ain baginya lalu, mana dari dua kewajiban ini yang harus didahulukan atas yang lain?

Syariah mengharuskan seorang Muslim untuk melakukan semua kewajiban, namun ketika kewajiban-kewajiban ini menumpuk, sehingga jika ia melakukan sebagian darinya, maka ia tidak lagi memiliki waktu untuk melakukan yang lain. Dalam kasus seperti itu, syariah itu sendiri yang memutuskan kewajiban mana yang harus didahulukan dan mana yang harus ditunda. Masalah ini adalah masalah sesuai tidaknya dengan syariah, bukan masalah yang memperturutkan hawa nafsu.

Para ulama dan mujtahid mampu memahami mana yang prioritas. Dalam hal bekerja mencari nafkah didahulukan daripada berjuang menegakkan Khilafah ketika terjadi penumpukan kewajiban. Namun mencari nafkah yang didahulukan atas aktivitas mengemban dakwah untuk tegaknya Khilafah adalah mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan primer, bukan kebutuhan sekunder apalagi kebutuhan tersier (kemewahan). Jika seorang Muslim segera dan sudah mendapatkan kebutuhan primernya, maka setelah itu tidak boleh ia melakukan aktivitas tambahan untuk mendapatkan kebutuhan tersier (kemewahan), jika aktivitas ini menyebabkan tertundanya kewajiban mengemban dakwah untuk menegakkan Khilafah. Oleh karenanya wajib bagi umat Islam mencari jalan agar dapat merealisasikan keduanya, yaitu adanya khilafah sekaligus institusinya, khilafah. Dan dengan jalan yang syar’i. Untuk itu, sebagai umat yang berjuang dalam menegakkan kembali Khilafah harus benar-benar sepenuh hati dan bersungguh-sungguh. Hingga terwujudnya Islam rahmatan lil alamin.

Wallahua’lam bishowab.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 83

Comment here