Oleh: Sriyama
Wacana-edukasi.com, OPINI-– Sebanyak 580 anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI resmi dilantik untuk masa bakti periode 2024-2029. Lima tahun ke depan. Wakil rakyat yang lalu dilantik di Senayan diharapkan mampu untuk berpihak dan mewakili kepentingan rakyat luas (Tirto.id, 3/10/2024).
DPR tidak boleh tunduk dan tersandera oleh kepentingan parpol, elite politik, kekuasaan eksekutif. Apalagi menjadi anggota DPR RI hanya demi meraup untung pribadi dan keluarga.
Namun, harapan itu kelihatannya butuh upaya ekstra dan pembuktian dari DPR. Pasalnya, politik dinasti diduga masih kental melekat pada DPR periode 2024-2029. Sejumlah anggota DPR terpilih diketahui memiliki hubungan keluarga atau kekerabatan dengan pejabat publik, elit politik, hingga sesama anggota DPR terpilih lainnya.
Temuan ini misalnya tercermin dalam hasil riset terbaru Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi). Mereka mencatat, sedikitnya 79 dari total 580 anggota DPR terpilih periode 2024-2029 terindikasi dinasti politik atau punya kekerabatan dengan pejabat publik. Hal ini menggores noda pesimisme memandang potret kerja DPR periode baru ke depan.
Relasi kekerabatan DPR 2024-2029 beragam: dari suami-istri, anak, ponakan dan lain-lain. Hubungan kekerabatan vertikal tercatat yang paling banyak, yakni caleg terpilih merupakan anak pejabat.
Maraknya dinasti politik atau politik kekerabatan di senayan dipastikan akan mempengaruhi jalannya kinerja di parlemen, kinerja Anggota DPR yang seharusnya menyampaikan aspirasi publik, justru tergadaikan untuk konflik kepentingan, relasi kekerabatan antara anggota DPR pejabat publik atau elit politik.
Parahnya lagi dalam sistem saat ini, anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak membuat aturan atau undang- undang yang sarat dengan kepentingan pribadi maupun kelompok tertentu. Salah satu contohnya, revisi undang-undang pilkada beberapa waktu lalu, ditambah fakta hari ini tidak ada oposisi semua menjadi koalisi pertanyaannya siapa yang berpihak pada rakya.
Jika semua berada dalam barisan yang pada faktanya berpihak pada kepentingan oligarki. Pada akhirnya rakyat terabaikan dan tak mampu melawan.
Derita Akibat politik dinasti yang di rasakan oleh rakyat belumlah tuntas sampai disitu, wakil rakyat dipilih bukan karena kelayakannya namun karena kekayaan atau jabatan dalam mekanisme politik transaksional. Maka terlihat apa yang terjadi di Senayan hanya sekedar tempat seremonial belaka, bukan tempat aspirasi rakyat yang di dengar oleh wakil rakyat.
Inilah gambaran berbagai kezaliman yang terjadi akibat di terapkan sistem batil Demokrasi yang pilih sebagai sistem pemerintahan, wakil rakyat dalam sistem demokrasi sungguh telah menipu dan menzolimi umat Islam.
Berulangnya kezaliman yang terungkap seharus membuat umat Islam membuka mata، bahwa wakil rakyat yang berwatak ra’in atau pengurus tidak akan pernah lahir dari sistem bathil buatan manusia. Seyogyanya jika umat Islam kembali pada syariat Islam kaffah, sejatinya Islam memiliki aturan terkait wakil rakyat, dimana aturan ini sangat berbeda wakil rakyat dalam sistem demokrasi yang di terapkan oleh negara saat ini.
Dalam sistem pemerintahan Islam yakni negara Islam, wakil rakyat disebut majelis umat, majelis umat merupakan majelis atau diwan yang terdiri dari orang-orang yang dipilih oleh umat dan perwakilan umat sebagai tempat merujuk bagi pemimpin untuk minta masukan atau nasehat dalam berbagai urusan. Mereka mewakili umat dalam melakukan muhasabah atau mengontrol dan mengoreksi para pejabat pemerintahan.
Keberadaan majelis ini diambil dari aktivitas Rasulullah Saw yang sering minta pendapat atau bermusyawarah dengan beberapa orang dari kaum muhajirin dan Anshar yang mewakili kaum mereka. Hal ini juga diambil dari perlakuan khusus Rasulullah Saw terhadap orang-orang tertentu diantara para sahabat beliau untuk minta masukan dari mereka.
Beliau lebih sering merujuk kepada mereka yang diperlakukan khusus itu dalam mengambil pendapat dibanding merujuk kepada sahabat-sahabat lainnya, diantaranya adalah mereka Abu Bakar, Umar, Hamzah, Ali, Salman Alfarisi, dan Abu Hudzaifah. Syaikh Ahmad Athiyat dalam kitab att- thariq menjelaskan beberapa wewenang utama majelis umat ini, adalah; pertama memberikan pendapat atau usulan kepada pemimpin dalam setiap urusan dalam negeri, seperti pendidikan, kesehatan dan ekonomi dan bagaimana usulan mendirikan sekolah, membuat jalan atau mendirikan sebuah rumah sakit dalam hal ini pendapat majelis umat bersifat mengikat.
Kedua, muhasabah dan mengoreksi para pejabat negara tentang berbagai hal yang di anggap oleh mereka sebagai kekeliruan. Pendapat majelis umat ini bersifat mengikat jika pendapat mayoritasnya bersifat mengikat pula. Ketika terjadi perbedaan dengan pemimpin maka perkara tersebut diserahkan kepada Mahkamah Madzalim.
Ketiga, menampakan ketidak sukaan kepada para wali atau Mu’awin yang memberatkan rakyat misalnya ketika menjadi seorang imam sholat bacaan sholat terlalu panjang dan pemimpin harus memberhentikan mereka yang diadukan itu.
Keempat, memberikan pandangan dalam undang-undang yang akan ditetapkan dan membatasi kandidat pemimpin, maka dengan demikian bisa disimpulkan bahwa wakil rakyat dalam Islam yakni majelis umat hanya bertugas menyampaikan aspirasi namun tidak memiliki wewenang untuk membuat aturan.
Dalam sistem Islam hanya Allah Azza Wa Jalla saja satu-satunya dzat yang berhak membuat hukum, manusia hanya sekedar menjalankan aturan tersebut, jika manusia taat kepada syariat Allah dalam menjalankan aspek kehidupan termasuk menaati syariat wakil rakyat, in syaa Allah politik dinasti akan berakhir dengan sendirinya karena itu sudah menjadi kebutuhan dan bahkan menjadi kewajiban umat Islam untuk kembali kepada ajaran Islam kaffah dalam naungan Negara Islam. Walahualam bishowab[]
Views: 9
Comment here