Opini

Wakil Rakyat Dilantik, Akankah Kehidupan Rakyat Membaik?

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh. Umul Istiqomah

Wacana-edukasi.com, OPINI– Gedung kura-kura menjadi saksi bisu dilantiknya 580 anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI masa bakti periode 2024-2029. Lima tahun yang singkat, para anggota dewan di Senayan diharapkan mampu untuk berpihak dan mewakili kepentingan rakyat. Namun, harapan itu sepertinya butuh upaya ekstra dan kesungguhan dari DPR. Karena pasalnya, aroma politik dinasti diduga masih kental melekat pada DPR periode 2024-2029. Sejumlah anggota DPR terpilih diketahui memiliki hubungan keluarga atau kekerabatan dengan pejabat publik, elite politik, hingga sesama anggota DPR terpilih lainnya. (tirto.id, 02/10/2024)

Selain itu, ada yang berbeda dengan fasilitas yang di berikan untuk para anggota dewan kali ini, pasalnya, mereka tidak akan mendapatkan fasilitas rumah dinas. Dan sebagai penggantinya, mereka akan diberikan tunjangan perumahan. Berdasarkan riset awal hunian di sekitar Kompleks Parlemen, kisaran tunjangan yang akan diberikan kisarannya Rp 30 juta sampai Rp 50 juta per bulan. Tapi jumlah ini belum disepakati. (kumparanNEWS, 03/10/2024)

Sudah diketahui bersama, bahwa anggota DPR di negeri ini merupakan wakil rakyat yang tugasnya adalah menyuarakan aspirasi rakyat sekaligus pembuat aturan/undang-undang. Tentunya, menjadi hal yang wajar ketika rakyat menggantungkan harapan besar terhadap mereka. Karena, mereka dipilih oleh rakyat sehingga kepentingan rakyat seharusnya adalah prioritas. Namun, siapa sangka, jika realitas hari ini keberadaan mereka justru seperti tidak ada artinya, karena peran ‘wakil rakyat’ yang disandingkan seperti hanya simbol belaka. Apalagi anggota DPR 2024-2029 yang terpilih, kebanyakan memiliki hubungan kekerabatan dengan para pejabat publik. Hubungan ini pun beragam, mulai dari suami-istri, anak, keponakan, dan lain-lain. Hal ini semakin menggambarkan betapa aroma politik dinasti begitu melekat pada DPR periode ini. Maka, jangan salahkan rakyat jika rasa pesimisme semakin kuat terhadap kinerja mereka, lima tahun ke depan. Karena, politik dinasti mengakibatkan rawannya konflik kepentingan. Mereka yang tadinya ingin bersuara mewakili rakyat, bisa jadi terhalang karena adanya hubungan kekeluargaan tadi. Apalagi hari ini bisa dikatakan tidak ada oposisi, semua menjadi koalisi. Yang artinya semua akan membela pemerintah, di mana kepentingan oligarki di atas kepentingan rakyat. Kalau sudah begini, lalu siapa yang berada di pihak rakyat? Pada akhirnya demokrasi yang memiliki slogan dari, oleh dan untuk rakyat kini hanya kalimat tanpa bukti yang akan terus digaungkan oleh mereka yang haus akan kekuasaan.

Demokrasi saat ini pun, semakin tercoreng namanya karena para wakil rakyat dipilih bukan berdasarkan kemampuan mereka yang mumpuni dalam berpolitik. Namun, karena banyaknya modal materi yang mereka miliki untuk berkampanye dan juga popularitas. Maka, jangan heran ketika banyak wakil rakyat hari ini yang latar belakangnya adalah seorang artis, model, bahkan komika/komedian. Yang terpenting adalah bisa mendapatkan kursi, dengan tujuan untuk memperkaya diri. Karena, ketika kampanye mereka sudah mengeluarkan modal besar, maka ketika terpilih bagaimana caranya agar modal itu kembali. Inilah yang disebut dengan politik transaksional. Adapun mengenai tunjangan perumahan yang pasalnya akan diberikan kepada para anggota DPR terpilih karena mereka tidak diberikan fasilitas rumah dinas, maka seharusnya hal ini menjadi pertimbangan besar bagi negara. Apalagi dengan jumlahnya yang fantastis yaitu sekitar Rp 30 juta sampai Rp 50 juta per bulannya. Miris sekali, di saat ada jutaan rakyatnya yang belum memiliki rumah, di sisi lain ada tunjangan yang begitu besar yang akan digelontorkan kepada ratusan orang yang duduk di parlemen, padahal secara pribadi mereka pun dipastikan sudah memiliki rumah yang layak. Apakah tidak lebih baik jumlah sebesar itu diberikan kepada rakyat yang lebih membutuhkan? Hal ini semakin memperjelas tujuan mereka mencalonkan diri sebagai wakil rakyat adalah untuk membela kepentingan pribadi dan partai pengusungnya, bukan untuk rakyat. Mereka diberi kewenangan untuk membuat aturan dengan tujuan untuk memperkaya diri dan menyejahterakan oligarki.

Inilah hasil dari bobroknya sistem sekuler-kapitalis yang diterapkan di negeri ini, siapa yang punya modal besar dialah yang akan berkuasa. Dan dia yang tidak punya apa-apa, menjadi korban kezaliman juga tidak mampu melawan. Sistem sekuler, yakni memisahkan agama dari kehidupan, menjadikan para pejabat yang diberikan amanah tidak takut ketika mengkhianati amanahnya. Mereka dengan terang-terangan memakan uang rakyat, memanipulasi rakyat dengan kebijakan yang seolah membela rakyat padahal nyatanya menzalimi, dan mereka melakukan itu dengan santai tanpa merasa berdosa karena tidak dilandasi dengan agama sebagai pedoman dalam berbuat dan bertingkah laku. Sistem sekuler-kapitalisme yang kental, menjadikan setiap kebijakan yang dibuat akan selalu berat sebelah alias tidak adil, terutama terhadap rakyat kecil. Maka, dalam hal ini, seharusnya tidak ada kewenangan bagi seorang manusia untuk membuat aturan bagi manusia lainnya, karena yang berhak atas itu hanyalah pencipta manusia yakni Allah Swt.

Berbeda dengan sistem Islam, yang memiliki seperangkat aturan untuk mengatur seluruh kehidupan manusia. Di dalam sistem pemerintahan Islam yakni Khilafah, wakil rakyat dinamakan Majelis Umat. Anggota yang ada di dalamnya adalah orang-orang yang telah dipilih umat untuk menjadi perwakilan umat sebagai tempat merujuk bagi Khalifah untuk meminta masukan dalam berbagai urusan. Mereka mewakili umat dalam mengontrol dan mengoreksi para pejabat pemerintahan. Keberadaan majelis ini diambil dari aktivitas Rasulullah Saw, ketika memimpin Islam di Madinah. Kala itu, Rasulullah Saw sering kali bermusyawarah atau meminta pendapat dari perwakilan kaum Muhajirin dan Anshar yang memiliki kecemerlangan dan kelebihan berpikir. Adapun tugas utama dari Majelis Umat ini di antaranya, memberikan usulan kepada Khalifah dalam setiap urusan dalam negeri, mengoreksi Khalifah dan para penguasa jika dirasa ada kekeliruan, menampakkan ketidaksukaan terhadap para wali atau mu’awin yang memberatkan rakyat, dan memberikan pandangan dalam undang-undang yang akan di tetapkan dan membatasi kandidat Khalifah. Sehingga, jelas dalam Islam seorang wakil rakyat hanya bertugas untuk menyerap aspirasi rakyat dan tidak di berikan kewenangan untuk membuat undang-undang. Dalam Islam, yang berhak membuat aturan hanyalah Allah Swt. Karena, hanya Allah Swt yang mengetahui solusi dari setiap permasalahan yang dihadapi oleh manusia. Maka, aturan yang datang dari-Nya tentu akan mendatangkan kemaslahatan bagi umat.

Wallahu a’lam bishowab

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 7

Comment here