wacana-edukasi.com, SURAT PEMBACA— Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengungkapkan bahwa lebih dari 1.000 orang anggota legislatif setingkat DPR dan DPRD bermain judi online (judol). Hal ini diungkapkan Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, Ivan Yustiavandana, dalam rapat dengan DPR RI. Dikutip Tirto.id (27/06/2024)
Sungguh memalukan wakil rakyat terlibat judi online, padahal sebagian masyarakat berharap judi online bisa dihentikan. Namun nyatanya, para wakil rakyatlah pelakunya. Realitas ini jelas mencerminkan bahwa betapa rusaknya value wakil rakyat. Dimulai dari mutu yang lemah, tidak jujur, tidak amanah, dan kredibilitas yang tak amanah.
Di aspek lain banyaknya wakil rakyat terlibat judi online, ini membuktikan bahwa masalah ini bukan hanya masalah individu saja melainkan sistem. Rakyatnya wajib sadar bahwa mereka sedang diatur oleh sistem bobrok yaitu sistem kapitalisme. Sistem dari Barat ini meniscayakan orang-orang memiliki kekuasaan menjadi tamak, sebab orientasi kapitalisme adalah materi. Selama ada kesempatan untuk meraup keuntungan besar, tidak dilihat dari tolok ukur halal-haram melainkan menfaat. Sekalipun wakil rakyat telah digaji dengan uang rakyat, mereka tetap terjebak pada judi online.
Didukung sistem demokrasi yang digunakan sebagai sistem pemerintahan oleh kapitalisme, menjadikan anggota dewan men-sah-kan kepentingan penguasa dan oligarki. Hal ini terbukti dengan undang-undang yang mereka rancang, mereka bahas yang sama sekali tidak berpihak pada rakyat. Jadi slogan “wakil rakyat bekerja untuk rakyat” itu hanyalah kata pemanis saja. Seperti inilah wakil rakyat dalam sistem kapitalisme dalam mengurusi rakyatnya, meraka direkrut tidak mengutamakan kredibilitas dan representasi bagi masyarakat. Alhasil, para wakil rakyat tidak bekerja mewakili rakyat melainkan untuk kesenangan pribadi dan korporat.
Hal tersebut tidak sama dengan wakil rakyat dalam negara Islam. Dalam sistem Islam, wakil rakyat disebut juga dengan Majelis umat. Majelis umat mereupakan majelis yang beranggotakan yang mewakili umat muslim. Memberikan tempat dan pendapat merujuk bagi pemimpin untuk meminta masukkan dan nasehat mereka dalam beragam urusan. Mereka mewakili umat dalam muhasabah dalam mengontrol juga mengoreksi pada pejabat pemerintahan atau alhukam.
Keberadaan Majelis hakim ini diambil dari aktivitas Rasulullah yang sering meminta pendapat dan bermusyawarah dengan para Muhajirin dan Anshar yang mewakili kaum mereka. Hal ini juga diambil dari perlakuan yang khas dari Rasulullah terhadap orang-orang tertentu dari kalangan sahabat beliau guna meminta pendapat dari mereka. Beliau sering merujuk kepada mereka yang diperlakukan khusus dalam mengambil pendapat dibandingkan para sahabat yang lainnya. Diantara mereka adalah Abu Bakar, Umar Bin Khathab, Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib, Hamzah bin Abdul Muthalib, Bilal bin Rabbah dan lain-lain.
Dengan demikian keberadaan Majelis Umat sebagai wakil rakyat bukan melakukan melegalisasi seperti perwakilan dalam sistem demokrasi. Namun sebagai pengimbang dalam eksekutif negara Islam. Sebab, Allah Ta’ala membolehkan untuk bersyura atau berdiskusi terkait permasalahan yang mampu didiskusikan, bukan diskusi hukum syarak. Sebagaimana telah dijelaskan dalam surah Ali Imran ayat 159. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman, “Dan bermusyawaralah dengan mereka dalam urusan itu.” (QS. Ali ‘Imran 3: Ayat 159). Wallahu’alam!
Oleh. EVA Ariska Mansur (Anggota Ngaji Diksi Aceh)
Views: 35
Comment here