Oleh : Irawati Tri Kurnia (Aktivis Muslimah)
wacana-edukasi.com, OPINI-– Mencemaskan kondisi penanggulangan korupsi di Indonesia. Sejauh ini koruptor yang tertangkap selama kurun waktu 20 tahun ini mencapai 1.600 orang! Benar-benar pencapaian rekor yang menyedihkan.
Ketua Pemberantasan Korupsi (KPK) RI Firli Bahuri menyatakan, bahwa lembaga tersebut telah menangkap sebanyak 1.600 koruptor dalam kurun waktu 20 tahun terakhir sejak 2003-2023 (www.antaranews.com, Kamis 9 November 2023) (1). Khusus tiga tahun terakhir, KPK telah menahan 513 tersangka koruptor sebagai bukti keseriusan penanganan korupsi.
Angka 1.600 cukuplah banyak untuk jumlah koruptor, sebagai orang yang sudah merugikan rakyat. Ini bukti betapa rusaknya sistem demokrasi kapitalisme sebagai sistem politik negeri ini. Seharusnya sistem politik yang benar berfungsi pencegah terjadinya kecurangan, sebaliknya sistem rusak membuat kecurangan tumbuh subur.
Korupsi telah menjadi kejahatan kronis, karena efek dari penerapan sistem politik demokrasi kapitalisme. Legalitas kekuasaan dalam sistem demokrasi ditentukan oleh jumlah suara inilah sebagai pangkal dari bibit korupsi. Pasalnya, kekuasaan dalam sistem demokrasi berorientasi pada pemanfaatan jabatan. Dalam demokrasi, rakyatlah yang justru mengurus pejabat, bukan pejabat mengurus rakyat. Pejabat mendapat berbagai fasilitas, kesempatan memperkaya diri, dan sebagainya. Akhirnya para calon pejabat berlomba meraup suara rakyat.
Perlombaan meraup suara rakyat ini membutuhkan modal besar untuk kampanye, pencalonan, membeli kursi kekuasaan, dan lainnya. Modal ini tidak cukup jika hanya mengandalkan kantong pribadi. Dari celah ini, para pemodal diberi pintu masuk untuk berpartisipasi. Sebagai imbal baliknya, ketika kekuasaan bisa diraih, kepentingan para kapital pendukung harus dipermudah, meskipun harus merugikan rakyat. Dampaknya kekuasaan yang ada, bukan untuk mengurus umat, namun mengembalikan modal dan memperkaya para pejabat. Maka wajar jika kasus korupsi terus berlanjut dari generasi ke generasi. Oleh karena itu pemberantasan korupsi dengan penangkapan, pemenjaraan, apalagi dibolehkan mencalonkan diri menjadi pejabat; bukanlah tindakan pemberantasan; tapi normalisasi korupsi.
Sangat berbeda dengan sistem politik Islam bernama Khilafah. Mekanisme pengadilan berdasarkan hukum Syariat, dengan menerapkan sistem sanksi dalam Islam dan Qadhi (hakim) harus diangkat oleh Khalifah. Secara fikih, fakta korupsi dihukumi sebagai bentuk pengkhianatan. Karena para pelaku melakukan penggelapan uang yang diamanatkan kepada mereka.
Agar pengkhianatan ini tidak terus-menerus terjadi, Islam memiliki sanksi tegas yang harus dijalankan oleh Khilafah tanpa pandang bulu. Sanksi bagi para koruptor adalah sanksi Ta’zir, yaitu sanksi yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh Qadhi (Hakim). Syekh Abdurrahman Al-Maliki dalam kitab Nizhamul Uqubat menjelaskan, bentuk sanksi Ta’zir bisa mulai dari yang paling ringan. Seperti berupa nasehat atau teguran dari hakim, bisa berupa penjara, pengenaan denda (gharamah), pengumuman pelaku di hadapan publik atau media massa (tasyhir), hukuman cambuk, hingga sanksi yang paling berat yaitu hukuman mati dengan cara digantung atau dipancung.
Berat ringannya hukuman disesuaikan berat ringannya kejahatan yang dilakukan. Sanksi Islam yang diterapkan Khilafah menimbulkan dua efek sekaligus; yaitu Zawajir (pencegah), agar masyarakat tidak melakukan hal serupa; dan Jawabir (penebus dosa) bagi pelaku dan membuatnya jera.
Selain sistem sanksi yang tegas, Khilafah juga menerapkan mekanisme pengusutan kasus korupsi berdasarkan hukum Islam yang efektif dan efisien, yakni dengan sistem pembuktian terbalik. Mekanismenya akan ada perhitungan kekayaan sebelum dan sesudah menjabat. Jika terdapat kelebihan harta yang tidak wajar, pejabat tersebut harus membuktikan dari mana asal harta itu didapat. Jika tidak bisa membuktikan, maka harta tersebut dianggap harta korupsi. Model pengusutan seperti ini akan meminimalisir celah terbukanya kerjasama antara pejabat dan petugas keadilan. Kemudian harta yang terbukti sebagai harta korupsi, dihukumi sebagai harta ghulul.
Maka Khilafah akan mengambil seluruh harta ghulul pejabat tersebut dan memasukkan ke Baitul Mal pos kepemilikan negara. Dengan sistem sanksi yang tegas, pengusutan yang cepat, efektif dan efisien, serta pengambilan seluruh harta ghulul; tentu akan membuat para koruptor berpikir seribu kali lagi jik ingin melakukan tindak korupsi (pengkhianatan).
Sebelum tindakan kuratif di atas dijalankan, Khilafah memiliki tindakan preventif; yaitu :
Pertama, Rekrutmen aparat negara berasaskan profesionalitas dan integritas, bukan berasaskan koneksitas atau nepotisme. Para SDM tersebut harus memenuhi kriteria kapabilitas dan kepribadian Islam (Syakhsiyah Islamiyah, artinya pola berpikir dan pola sikapnya sama-sama Islaminya). Rasulullah saw bersabda :
“Jika urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancuran itu.” (HR. Bukhari).
Kedua, Khilafah wajib membina dan mengawasi pejabat negaranya.
Ketiga, Khilafah wajib memberikan gaji dan fasilitas yang layak kepada aparat pejabat negara. Upaya ini dilakukan agar mereka fokus dan totalitas membantu Khalifah dalam mengurus urusan rakyat. Abu Ubaidah pernah berkata pada Khalifah Umar : “Cukupilah para pegawaimu, agar mereka tidak berkhianat.”
Keempat, Pejabat negara haram menerima hadiah dan suap.
Kelima, perhitungan kekayaan aparat negara dilakukan secara berkala.
Demikianlah solusi tuntas pemberantasan korupsi dalam Khilafah.
Wallahu’alam Bishshawab
Catatan Kaki :
(1) https://www.antaranews.com/berita/3815922/kpk-tangkap-1600-koruptor-dalam-20-tahun-sejak-2003
Views: 10
Comment here