Oleh: Sunarti (Pemerhati Sosial)
wacana-edukasi.com, OPINI– Tahun 2024 akan ada pemilu atau pesta demokrasi untuk memilih wakil-wakil rakyat, baik pemilihan wakil rakyat di tingkat kabupaten, provinsi, maupun di pusat sekaligus dengan pemilihan presiden dan wakil presiden. Menjelang pemilihan tersebut biasanya diawali dengan pencalonan para wakil rakyat dan calon presiden dan wakil presiden.
Setiap kandidat calon pemimpin tersebut berasal dari latar belakang partai dan visi misi yang berbeda. Masing-masing calon memiliki pendukung dari berbagai elemen masyarakat. Semua calon tersebut tentu berambisi untuk menang. Dengan adanya perbedaan tersebut memungkinkan adanya konflik antar pendukung dari para calon wakil rakyat.
Maraknya konflik yang terjadi di masyarakat menjelang pemilu karena adanya perbedaan terhadap dukungan pasangan calon atau perbedaan latar belakang partai. Misalnya, tanggal 15 Oktober 2023 telah terjadi kerusuhan di Magelang Jawa Tengah yang disebabkan 2 kelompok, yang satu tersinggung dengan kelompok yang lain sehingga terjadi gesekan.
Dalam kerusuhan itu ada aksi lempar batu yang berakibat jatuhnya korban hingga harus dirawat di rumah sakit (KOMPAS,16 Oktober 2023). Hal ini menunjukkan bahwa keberpihakan rakyat terhadap partai politik hanya didasari faktor emosional dan figuritas saja, tanpa mengetahui kemana arah dan tujuan partai tersebut yang memunculkan gesekan antara individu maupun kelompok. Begitulah ketika dukungan kepada figure publik atau partai politik hanya didasarkan pada ikatan kelompok. Baik atau buruk, salah atau benar hanya dilihat dengan sudut pandang “pokoknya kelompoknya yang paling benar”.
Dalam sistem demokrasi pemilu dianggap sebagai arena hidup dan mati, siapa yang kuat dalam pertarungan dialah pemenangnya, kemarin lawan sekarang kawan. Para elit partai politik lebih mementingkan tujuan yang hendak dicapai daripada mengurusi fanatisme masyarakat yang mendukung mereka. Namun demikian masyarakat memilih menjadi oposisi.
Ketika melihat fakta yang ada seharusnya membuat umat paham bahwa realitas partai politik dalam demokrasi lebih bersifat pragmatis ketimbang idealis. Bukan idealisme yang menjadi pertimbangan setiap kebijakan partai politik, melainkan lebih pada manfaat yang bisa diambil partai politik dari setiap keputusan yang mereka buat.
Fenomena pindah kubu adalah hal biasa dalam politik demokrasi. Sebab ia hanya cenderung untuk meraih kekuasaan setinggi-tingginya baik saat Pilkada, pileg, ataupun pilpres. Jika masyarakat mencermati betul dalam setiap koalisi yang dibangun pada kontestasi pemilu pasti berwajah dinamis. Ada kalanya di satu wilayah bersaing ternyata di wilayah lain bersatu yang berarti dukung mendukung pasangan calon hanya dinilai dari seberapa besar peluang mereka menang dan keuntungan yang akan mereka dapatkan.
Prinsip tidak ada kawan dan lawan abadi seolah-olah harga mati bagi partai politik demokrasi. Jadi sebagai masyarakat sangat rugi jika terlalu mengedepankan fanatisme golongan/ partai. Apalagi jika sampai terjadi bentrokan yang tidak mengedepankan persaudaraan dan persatuan. Dalam hal ini kita harus memahami banyak pihak yang memanfaatkan suara rakyat demi untuk meraih dukungan sebanyak- banyaknya walau melalui cara ilegal.
Oleh karena itu, umat harus tahu realitas politik demokrasi agar tidak terjebak polarisasi yang memicu perselisihan. Dalam politik, propaganda terus menerus diluncurkan untuk merendahkan kubu seberang, memperbaiki citra kelompok/ kubu sendiri, dan bahkan membuat kebingungan di masyarakat agar masyarakat di posisi awam dan keliru. Selepas itu, aktor politik tinggal meluruskan kaki dengan santai serta melihat orang-orang di bawahnya membela dirinya dan sibuk dengan konflik yang sebenarnya hanya menguntungkan mereka.
Sudah saatnya masyarakat belajar dari realita tahun ke tahun karena politik saat ini dipenuhi dengan upaya meraih keuntungan dengan menghalalkan segala cara. Masyarakat dengan mudah diperalat untuk memuluskan aksi para aktor politik. Para anggota atau simpatisan partai politik hendaknya mendalami tujuan partai yang sebetulnya, memahami motif strategi dan bijaksana dalam mengerjakannya agar tidak terjadi konflik-konflik lagi, dan memahami betul kepentingan rakyat bukan kepentingan individu atau kelompok seperti saat partai-partai politik hadir untuk mencapai kepentingan tertentu dengan dalih kepentingan rakyat.
Pada realitanya sudah banyak aktor politik yang sampai pada kursi kekuasaan namun bukan melakukan perbaikan untuk kepentingan rakyat, melainkan memutuskan aturan-aturan yang menguntungkan dirinya dan untuk pemilik modal. Penguasa dan pemilik modal ibarat sepasang kekasih yang bekerja sama meraih keuntungan. Mereka lupa bahwa ada rakyat yang seharusnya diprioritaskan dan diurus dengan maksimal. Maka kebijakan yang lahir sama sekali tidak memberikan kesejahteraan rakyat melainkan hanya terbatas pada realitas saja hanya solusi-solusi parsial karena terhambat oleh upaya meraih keuntungan bagi mereka.
Dengan demikian, gerakan-gerakan yang berdiri atas dasar pemikiran umum tanpa batasan yang jelas, maka muncul kekaburan atau pembiasan. Hal ini juga ditambah dengan pemikiran yang tidak cemerlang, tidak jernih dan tidak murni untuk kepentingan rakyat. Kelompok saat ini masih bertumpu kepada orang-orang yang belum sepenuhnya mempunyai kesadaran yang benar. Akibatnya banyak orang-orang yang menjalankan tugas tanpa ikatan yang benar, yaitu ikatan yang berisi sebatas deskripsi organisasi itu sendiri disertai dengan sejumlah slogan organisasi.
Dalam Islam partai politik berdiri bukan hanya untuk meraup suara melainkan berperan penting dalam melakukan perubahan di tengah masyarakat yaitu membentuk pemahaman politik yang benar, politik yang berarti mengurus urusan urusan rakyat.
Tujuan berdirinya partai politik dalam Islam untuk membina, mendidik dan menyadarkan umat dengan pemahaman yang shahih sesuai pandangan Islam. Bukan hanya untuk menampung aspirasi dan suara rakyat. Mereka juga harus melakukan koreksi terhadap kebijakan penguasa, tidak membela kezaliman dan tidak bermuka manis demi menyenangkan penguasa. Seharusnya partai politik berdiri untuk membela kepentingan dan kemaslahatan rakyat.
Islam membolehkan berdirinya banyak partai politik dalam rangka mewujudkan muhasabah kepada penguasa. Dalam Islam berpolitik untuk mewujudkan aktivitas amar ma’ruf nahi munkar yang bermakna sebagai penyambung aspirasi rakyat untuk membangun kesadaran penguasa dalam menjalankan amanahnya.
Namun, harus diperhatikan standar syarak atas berdirinya partai-partai tersebut dan saling kerjasama serta saling menghormati dalam menjalankan amanahnya. Dengan kata lain, nafas perjuangan partai politik haruslah terikat dengan aturan Islam bukan kepentingan individu atau golongan. Sehingga partai politik tidak akan mudah berbalik arah karena bersandar pada ikatan yang shahih yaitu akidah Islam.
Wajib membangun kesadaran umat secara hakiki dan menjadikan akidah sebagai asas dalam kehidupan dan membangun persatuan umat. Dengan demikian pemikiran orang-orang dalam partai yang berlandaskan Islam secara sempurna telah mengkristal jelas metodenya, siapa orang-orangnya dan praktis dalam aktivitasnya.
Di sinilah partai menjelma menjadi partai ideologis yang utuh, bergerak demi yang benar untuk kepentingan masyarakat secara menyeluruh sebagai upaya ketaatan untuk mencari keridhaan Allah Swt. Oleh karena itu, misi utama kepemimpinan Islam adalah mendedikasikan dirinya untuk kepentingan rakyat sesuai tuntunan syariat.
Wallahu A’ lam Bisshawab.
Views: 10
Comment here