wacana-edukasi.com– “Hidup enggan, mati tak mau” itulah pepatah yang bisa menggambarkan kondisi mati surinya Riset kita seandainya Pemerintah salah mengambil langkah. Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) Satryo Soemantri Brodjonegoro menjelaskan penggabungan Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman ke BRIN akan mempengaruhi aktivitas riset di Indonesia, bahkan bisa mati suri (CNN Indonesia, 5/01/2022).
Banyak pihak menyayangkan hal ini, karena yang namanya riset butuh waktu untuk memulai lagi dari awal, apalagi disinyalir bisa memberhentikan banyak para peneliti yang kapasitasnya tidak diragukan lagi. Selain daripada itu, akibat adanya birokrasi setidaknya butuh waktu 9 bulan-1 tahunan bisa terjadi kevakuman, yang akhirnya bisa mati suri. Padahal vaksin merah putih hingga saat ini masih dikembangkan.
Banyak sisi krusial yang menjadi risiko bila pemerintah tidak cukup perhatian pada riset, diantaranya ketergantungan dan intervensi asing (kasus vaksin covid), kerugian politik bahkan bisa mengancam kedaulatan. Sejumlah akademisipun membuat petisi yang meminta Presiden Jokowi untuk membatalkan rencana peleburan lembaga-lembaga riset ke Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Bahkan beberapa anggota DPR pun sempat melontarkan penolakannya. Sementara Dewan riset DKI Jakarta melayangkan gugatan ke MK terkait peleburan BRIN, tapi Mahkamah Konstitusi (MK) menolak uji materi gugatan peleburan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) tersebut.
Sebanyak 39 lembaga riset di Indonesia, termasuk Eijkman, dilebur dalam BRIN. Implikasinya, bukan hanya sekedar sumber daya manusianya, tetapi juga kewenangan luar biasa menentukan nasib ekosistem riset nasional. Mantan Deputi II Kantor Staf Presiden Yanuar Nugroho sempat mengingatkan bahaya BRIN jika dirancang sebagai pemegang kewenangan absolut untuk sistem ristek tanah air. Belakangan terbit Perpres 33 dan 78 tahun 2021 yang arahnya memang memberi BRIN kewenangan otonom yang sangat besar, dan membuat BRIN dijuluki superbody, dan banyak memantik kritik.
Hal yang krusial dan dikhawatirkan adalah riset kedepannya bisa dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu yang tidak bertanggung jawab, karena pembuat kebijakan dan pelaksana kebijakan ada di tangan yang sama, belum lagi independensi dalam penelitian pun masih diragukan kalau hanya sebagai administrator.
Bagaimana pandangan Islam terhadap Riset?
Riset ataupun penelitian dalam Islam sangat diperhatikan, terlebih untuk kemaslahatan umat. Landasan aqidah akan menjadikan pemimpin dan yang dipimpin pun menjadi sandaran mereka dalam berbuat. Kekurangan akan kebutuhan finansial tak akan ditakutkan oleh para peneliti dalam Islam, karena jelas negara akan menjaminnya, terlebih seorang Kepala Negara dia adalah Raa’in. Sebagaimana sabda Rasulullah: “Imam/Khalifah adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat yang diurusnya.”(HR Muslim dan Ahmad)
Sementara dana riset yang begitu besar akan pula diperhatikan oleh negara, sehingga kedaulatan riset pun benar-benar akan dimiliki. Ketergantungan pada pihak asing yang jelas-jelas merugikan akan dihindari. Idealisme dalam melakukan riset akan tetap terjaga karena benar-benar dalam suasana dukungan politik yang kondusif. Semua pihak yang terlibat mereka akan menjadikan suasana Ruh akan hadir dalam jiwa mereka, disamping keyakinan yang begitu kuat terhadap aqidah Islam dan juga penerapan syariat Islam secara sempurna diberlakukan. Sehingga majunya riset sebagai implikasi majunya ilmu pengetahuan, dan teknologi akan seiring sejalan dengan ketaqwaan setiap individunya.
Sepanjang perjalanan sejarah dapat kita saksikan bagaimana pada masanya kemajuan Islam telah melahirkan ilmuwan-ilmuwan kelas dunia yang banyak berkontribusi dalam berbagai bidang kehidupan, semisal Al-khawarizmi, Ibn Kaldun, Ibn Al-Nafis, Ibn Hayyan, Az-Zahrawi, dsb. Semua memberikan sumbangsih ilmunya untuk seluruh umat manusia. Hal ini tidak lain karena perhatian negara terhadap kemajuan riset disamping pelaksanaan Hukum Syara secara menyeluruh.
Ummu Firda
Views: 5
Comment here