Oleh : Asma Ridha (Pegiat Literasi Aceh )
Wacana-edukasi.com — Masifnya penggunaan gawai serta cepatnya perkembangan teknologi komunikasi dan internet tidak selalu dibarengi kesadaran untuk melindungi diri dari berbagai kejahatan seksual di era digital ini. Tanpa sadar mau tidak mau telah membawa anak-anak, remaja hingga orang dewasa terjebak pada hal-hal negatif, seklipun tidak dipungkiri banyak hal sisi positifnya.
Sisi negatif yang patut diwaspadai dan bahkan telah menelan korban adalah fenomena sexting yang kian menggejala di kalangan remaja. Sexting adalah istilah yang dipakai untuk aktivitas mengirim atau mengunggah foto telanjang maupun setengah bugil atau mengirim pesan teks yang membangkitkan birahi. Sexting berasal dari kata “sex” dan “texting”. Seks dimaknai sebagai hal yang berkenaan dengan alat kelamin, ketelanjangan, baik sebagian maupun seluruhnya, hubungan seksual dan kegiatan-kegiatan yang membangkitkan hasrat seksual, sedangkan “texting” adalah membuat atau berbagi pesan berupa foto, gambar, atau video melalui telepon genggam.
Dikutip dari Kompasiana.com (30/01/2010), sexting pertama sekali dikenal sejak adanya sebuah laporan di Sunday Telegraph Magazine pada tahun 2005. Namun kegiatan ini menggemparkan AS tahun 2008 lalu karena adanya dua korban tewas akibat sexting. Korban pertama, Witsell Hope (13) gantung diri setelah lelah mendapat ejekan dari teman sekolahnya di Florida AS. Awalnya dia mengirim foto telanjangnya kepada laki-laki yang disukainya. Kemudian korban kedua Jessica Logan (18) gantung diri setelah berminggu-minggu mendapat ejekan di sekolah. Logan mengirim foto telanjang dari ponsel untuk pacarnya. Namun saat putus, pacarnya meneruskan foto itu ke gadis-gadis lain.
Korban Sexting Tidak Hanya Perempuan Saja
Perilaku yang tidak wajar ini kian menjebak siapa saja, terutama anak-anak remaja terjerumus pada tindakan memuaskan syahwat semata, walau sekedar hanya mengirim foto dan video bugil mereka. Korban bisa saja laki-laki dan perempuan. Situs pornografi yang mudah diakses di media sosial dan YouTube, semakin membuat para remaja haus akan pemenuhan seks. Bahkan bisa menyimpang dengan menyukai sesama jenis mereka sendiri. Dan fatalnya secara terencana dan rapi menjebak para korban untuk memenuhi keinginan mereka. Jika tidak mau, mereka akan memaksa dan sifatnya ancaman. Dan dari sinilah, para germo atau mucikari memanfaatkan keluguan anak remaja dengan mengkomersilkan perempuan sebagai pemuas syahwat hidung belang, dan terjadilah prostitusi online.
Dikutip dari Bisnis Jakarta (27/02/18), “Perempuan lebih banyak menjadi pelaku sexting sebesar 13 persen, dibandingkan dengan laki-laki sebesar sembilan persen. Data lainnya, satu dari lima remaja puteri berusia 14-19 tahun atau sebanyak 20 persen dan satu dari tiga perempuan berusia 20-26 tahun atau 33 persen mengaku pernah melakukan sexting.”
Korban sexting bisa dilakukan dari orang terdekat, dan hubungan percintaan dengan kekasih mereka sendiri. Dengan alasan sekedar hiburan, bercanda, menggoda, dan hadiah untuk pacar. Hal itu sebagai sangat mengkhawatirkan karena aksi porno menjadi bahan candaan yang siap beredar di dunia maya.
Maka kejahatan di era digitalisasi haruslah disadari kian mudah menjebak siapa saja. Situs pornografi yang sangat mudah diakses bahkan oleh anak-anak yang masih usia dini, jika tidak ada pengontrolan sama sekali oleh orang tua. Maka lambat laun merusak secara perlahan generasi kita ke depan.
Islam dan Peran Negara Dalam Mengontrol Media
Islam sebagai sebuah tatanan kehidupan yang paripurna, tidak luput dalam mengatur tentang fungsi media massa dan media sosial. Sebab, seiring dengan perkembangan zaman, media massa dan media sosial kini telah menjadi bagian penting dalam kehidupan seseorang. Para pengguna gadget, tidak lagi sekedar memanfaatkan sebagai ajang hiburan, melainkan sarana komunikasi dan informasi yang mudah diakses oleh siapa saja. Secara kasat mata tentu tidak ada yang salah dalam memanfaatkannya. Namun pada dasarnya media memiliki peran yang besar dalam merubah tatanan kehidupan bermasyarakat, serta membentuk perilaku di tengah umat manusia.
Karenanya dalam Islam, media massa (wasaail al’ilam) mendapat perhatian khusus, dan bahkan dikontrol oleh negara. Media berfungsi strategis dalam mengokohkan ideologi Islam. Memperhatikan konten dan isi yang disampaikan, baik media dalam luar negeri bahkan luar negeri.
Di dalam negeri, media massa berfungsi untuk membangun masyarakat Islam yang kokoh. Sedang di luar negeri, media massa berfungsi untuk menyebarkan Islam, baik dalam suasana perang maupun damai untuk menunjukkan keagungan ideologi Islam dan sekaligus untuk membongkar kebobrokan ideologi kufur buatan manusia (Ghazzal, 2003). Sekalipun media sosial, tidak berarti mudah dimanfaatkan untuk ajang kebebasan berekspresi, hingga berani memposting segala sesuatu yang melanggar hukum syari’at.
Maraknya sexting di kalangan remaja, tidak cukup butuh pengontrolan dari orang tua saja. Namun negara memiliki andil yang besar untuk mengontrol secara keseluruhan. Setiap informasi keseharian, program atau acara politik, pemikiran dan sains, serta informasi tentang peristiwa dunia, seharusnya mendapat arahan dan kontrol dari negara. Sebab semua informasi tersebut mempunyai kaitan erat dengan ideologi dan sikap negara terhadap hubungan bernegara dan skala internasional. Negara seharusnya mengeluarkan undang-undang yang memuat panduan umum pengaturan informasi yang mendukung pengokohan masyarakat Islam yang kuat memegang syari’ah Islam sehingga melahirkan banyak kebaikan dari dan di dalam masyarakat.
Demikian pula dalam skala konten hiburan, dan memanfaatkan fasilitas media sosial. Dalam Islam tidak ada tempat bagi penyebaran pemikiran dan pemahaman yang rusak dan merusak, pemikiran sesat dan menyesatkan, kedustaan dan berita manipulatif. Tidak ada ruang untuk situs pornografi, dan jika ada yang berani melakukannya, negara wajib menjatuhkan sanksi yang tegas. Karena baik negara maupun warga negara terikat dengan pemahaman hukum syara’ yang melarang penyiaran berita bohong, propaganda negatif, fitnah, penghinaan, pemikiran porno dan a-moral, dan sebagainya. Apalagi menjadikan sarana media untuk melakukan prostitusi anak.
Oleh karena itu, dalam Islam media menjadi alat konstruktif untuk memelihara identitas keislaman masyarakat. Berbeda nyata dengan media massa yang mengabdi pada ideologi kapitalisme sekuler dan sistem negara demokrasi liberal, media massa telah menjadi alat destruktif untuk menghancurkan nilai-nilai Islam, dan membejatkan moral. Maka wajar, pemblokiran situs pornografi sangat sulit dilakukan. Karena peminat dan penikmat situs ini merambah hampir semua kalangan.
Karenanya negara memiliki andil yang sangat penting untuk mewujudkan lembaga penyiaran atau media massa sesuai dengan ketentuan Islam, dengan terlebih dulu merealisasikan adanya khilafah Islam yang dengannya terwujud lembaga dan media massa Islam yang konstruktif membangun peradaban hidup yang mulia. Maka peran media untuk menghancurkan generasi akan sulit terjadi, dan remaja akan terjaga dari konten yang sifatnya merusak.
Wallahu A’lambishhawab
Views: 117
Comment here