Oleh : Irawati Tri Kurnia
(Aktivis Muslimah)
wacana-edukasi com, OPINI– Menggelisahkan adanya temuan sebuah resto yang lalai dalam menyajikan makanan halal. Hal ini berawal dari muncul unggahan di twitter keluhan pelanggan restoran Italia ‘Mamma Rossy Indonesia’, yang pesan masakan daging sapi jadinya disuguhi daging babi. Stefania Vigone, pemilik Mamma Rossy Jakarta, mengakui kesalahan stafnya (www.food.detik.com; Senin, 12 Juni 2023) (1).
Apakah akar dari insiden ini? Yang bermasalah apakah pengusaha restoran, pelayan, atau pelanggan yang tidak berhati-hati meneliti restorannya? Ternyata semua pihak bermasalah. Pelanggan tidak berhati-hati memilih resto yang menjual makanan halal (www.republika.co.id; Rabu, 14 Juni 2023). Pelayan yang tidak ramah dan tidak mengetahui standar halal makanan juga salah. Begitu pula pemilik restoran yang nekat menjual bahan makanan non halal, ikut salah juga. Ini lalu bermuara pada ketiadaan peran negara. Karena peran negara penting dalam memberikan edukasi perihal memisahkan barang halal dan haram; yaitu kepada para pelanggan, pemilik restoran dan pelayan restoran.
Insiden Resto Mamma Rossy ini adalah satu dari sekian banyak kasus tentang makanan halal-haram. Sebelumnya, seorang selebgram masuk bui menanggung setelah memakan daging babi sembari mengucapkan basmalah demi sebuah konten. Ini termasuk penistaan agama.
Memang makanan alias “food” adalah sarana untuk lebih membumikan liberalisme yang berakar dari sistem sekuler kapitalisme, selain fun (entertainment/dunia hiburan) dan fashion (dunia busana). Dunia kuliner tidak lepas dari imej gaya hidup tertentu, yang memarjinalkan standar halal-haram. Salah satunya gaya hidup ala Barat. Menurut Founder Halal Corner Aisha Maharani, masyarakat yang masih datang ke restoran dengan menu non-halal adalah akibat gengsi dan tidak mementingkan Syariat.
Terlebih lagi sekarang sedang tren : Fear of Missing Out (FOMO), yakni takut ketinggalan tren. Akhirnya harus mencoba hal yang baru, termasuk makanan viral hasil rekomendasi food vlogger, tanpa peduli status kehalalannya; karena takut ketinggalan tren. Inilah salah satu kerusakan akibat sistem sekuler kapitalisme. Sistem ini merusak cara pandang umat Islam hingga akhirnya mempengaruhi gaya hidup mereka.
Walau hal ini makin menjamur, belum ada solusi dari negara agar tidak berulang. Aktivis Indonesia Halal Watch yang juga Wasekjen MUI bidang Hukum dan HAM Ikhsan Abdullah mengatakan, “Sering terjadinya perubahan atas berbagai regulasi sistem jaminan halal, sosialisasi proses produksi halal, sampai pendisplinan; menjadikan resto jadi terabaikan.” Ini menunjukkan bahwa negara masih abai menjamin kehalalan makanan yang beredar, padahal mayoritas masyarakat negeri ini adalah muslim.
Pernyataan bahwa “Pelanggan harus cermat memilih restoran,” (www.republika.co id, Rabu 14 Juni 2023) (3) pun juga perlu dikritisi. Karena faktanya pengetahuan masyarakat perihal ini tidaklah sama. Edukasi oleh negara perihal makanan halal-haram di publik masih belum maksimal. Pada saat yang sama, gempuran makanan dari luar terus masuk ke negeri mayoritas muslim ini. Banyak restoran makanan Barat, Korea, Jepang, dan negara lainnya didatangi masyarakat muslim. Mereka mengutamakan rasa enak, halal-haram nomor sekian. Padahal banyak restoran yang belum bersertifikat halal ataupun bahan-bahan makanannya yang diragukan kehalalannya. Negara pun, karena berparadigma kapitalisme, yang penting adalah pembayaran pajak restoran lancar, halal tidaknya urusan nanti.
Islam bukanlah sekedar agama ritual, tapi sebuah ideologi, sebuah sistem hidup. Pengaturannya mencakup segala aspek kehidupan, termasuk masalah makanan. Terikat pada SyariatNya berkaitan dengan makanan, akan menjamin hidup berkah, selamat dunia dan akhirat, serta bernilai ibadah serta menuai pahala. Dan Syariat tentang makanan, tidak bisa lepas dari penerapan Syariat lainnya. Sehingga memang membutuhkan penerapan Islam secara kafah, dan yang mampu mewujudkan hanyalah Khilafah.
Allah SWT telah menetapkan makanan halal adalah yang terbaik bagi manusia, karena Allah Sang Pencipta manusia, sehingga Maha Tahu makanan apa yang terbaik bagi manusia. Halal atau tidaknya makanan yang dikonsumsi sangat mempengaruhi seorang muslim. Rasulullah saw. bersabda, “Tidaklah tumbuh daging dari makanan haram, kecuali neraka lebih utama untuknya.” (HR Tirmidzi).
Khilafah memiliki sejumlah mekanisme untuk melindungi umat dari makanan haram.
Pertama. Khilafah akan membangun kesadaran umat Islam akan pentingnya memproduksi dan mengonsumsi produk halal, melalui edukasi kurikulum pendidikan baik secara formal maupun non formal. Khilafah akan menanamkan pemahaman pada kaum muslim bahwa karakter kaum muslim adalah mengonsumsi barang/makanan halal dan baik (thayyib) sebagai bukti iman pada Allah. Firman-Nya :
“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi. Dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (QS Al-Baqarah: 168)
Begitu umat Islam memahami pentingnya mengonsumsi makanan halal, ini otomatis akan diikuti oleh produsen dan pemilik rumah makan. Karena mengikuti hukum pasar, untuk juga memproduksi makanan yang halal agar laku di pasaran.
Kedua. Pengawasan ketat akan dilakukan Khilafah terhadap para produsen makanan dan pemilik restoran. Uji klinis kehalalan akan dilakukan secara berkala dan gratis tanpa dipungut biaya, karena sudah menjadi kewajiban Khilafah menyediakan sarana prasaran untuk mewujudkan pengawasan produksi makanan halal. Semua biaya ditanggung Baitul Mal (Kas Negara Khilafah).
Ketiga. Khilafah akan menegakkan hukum dengan tegas terhadap para pelaku usaha yang melanggar ketentuan. Terhadap produsen makanan yang masih memproduksi makanan haram dan pada umat Islam yang masih mengonsumsi makanan haram, Khilafah akan menjatuhkan sanksi yang tegas.
Keempat. Masyarakat Islami yang terbentuk dari proses edukasi oleh Khilafah berdasarkan akidah Islam, akan terbiasa melakukan dakwah. Maka mereka akan membantu Khilafah dalam mengontrol kehalalan berbagai produk yang beredar.
Khilafah akan mengerahkan para polisi pasar bersama Qadhi Hisbah (hakim pasar). Qadhi Hisbah bertugas mengawasi dan menindak para pedagang dan pelaku usaha yang curang, yang diam-diam memproduksi makanan haram. Pada masa Khalifah Umar bin Khaththab ra, beliau tegas melarang para pedagang yang belum memahami syariat Islam untuk melakukan perdagangan di pasar.
“Tidak boleh berjualan di pasar-pasar umat Islam, orang yang tidak mengetahui halal dan haram sehingga ia pun terjatuh pada riba dan menjerumuskan kaum muslim pada riba.” (Ihya’ ‘ulumuddin, hlm.59).
Khilafah juga akan menanggulangi merebaknya berbagai tren yang tidak sesuai Islam, seperti FOMO tadi. Kaum muslim oleh Khilafah akan senantiasa dibina dan dicerdaskan dengan pemahaman Islam. Umat akan terlindungi dari produk haram dan tren yang menyesatkan.
Inilah detil yang akan dilakukan Khilafah dalam mewujudkan penjagaan makanan halal dan menghilangkan tren FOMO yang menyesatkan. Sehingga tidak ada pilihan lain kecuali memperjuangkan Khilafah sebagai “Tajrul Furud” (Mahkota Kewajiban). Karena Khilafah terbukti telah berjaya selama 13 abad lamanya, menjaga umat untuk mewujudkan peradaban cemerlang, salah satunya di bidang kuliner halalan thayyiban penuh berkah.
Wallahu’alam Bishshawab
Xatatan Kaki :
(1) https://food.detik.com/info-kuliner/d-6768406/pelayan-sajikan-pasta-babi-ke-muslim-restoran-mamma-rosy-klarifikasi-begini
(2) https://republika.co.id/berita/rw7ohp430/pelajaran-dari-mamma-rosy-dan-restoran-lain-yang-sediakan-daging-babi?utm_source=whatsapp
(3) https://republika.co.id/berita/rw8o9x425/mamma-rosy-sajikan-menu-babi-ke-konsumen-muslim-pendapat-warganet-terbelah?utm_source=whatsapp
Views: 325
Comment here