wacana-edukasi.com, SURAT PEMBACA– Masa kampanye Pemilu dan Pilpres 2024 telah dimulai sejak 28 November 2023 hingga 10 Februari 2024 nanti. Pada masa kampanye ini, kontestan bersaing merebut perhatian massa dengan berbagai macam cara. Parahnya demi mendapat dukungan umat dan meraih kemenangan, cara-cara yang sarat dengan kecurangan pun ditempuh, seperti pencitraan, black campaign dan lain-lain. Kondisi ini rawan menimbulkan perselisihan dan konflik di tengah masyarakat. Konflik tersebut menguatkan bahwa sistem pemilu demokrasi penuh dengan intrik, tipu-tipu dan lain-lain. Modus-modus kecurangan tersebut bukan sekedar anomali dalam sistem demokrasi, tetapi tidak lepas dari prinsip demokrasi itu sendiri.
Demokrasi menetapkan bahwa manusia memiliki hak dalam kedaulatan, dimana manusia menetapkan sendiri sistem dan undang-undang yang diterapkan dan juga menetapkan bahwa manusia memiliki hak di dalam kekuasaan, yaitu memilih sendiri penguasanya melalu pemilihan. Oleh karena itu orang-orang Barat mencampuradukkan antara kekuasaan, kedaulatan dan kewenangan. Menurut mereka kedaulatan berarti manusia memiliki dan menjalankan kehendaknya yakni manusia memilih siapa yang akan memerintah dan dengan apa dia memerintah. Dia pula yang memilih siapa yang menjalankannya, artinya jika yang dimaksudkan adalah kemutlakan manusia atau jenis manusia, maka kedaulatan menurut mereka adalah benar-benar di tangan rakyat.
Namun menurut sebagian pemikir Barat, hal ini tidak realistis dan imajiner, sebab sejatinya yang dimaksud manusia sebagai individu yaitu bahwa individu adalah tuan atas dirinya sendiri. Oleh karena itu kedaulatan hakikatnya tidak ada di Barat, sebab sistem dan yurisprudensi Barat ditetapkan oleh sekelompok atau segelintir orang saja, tidak semua individu ikut serta dalam penetapannya. Demokrasi menetapkan bahwa kekuasaan ada di tangan rakyat, namun meskipun secara teori Barat menjadikan kekuasaan milik rakyat karena dialah yang memilih penguasanya melalui pemilihan umum yang bebas, namun realitas menunjukkan bahwa pemilihan penguasa oleh rakyat di Barat merupakan pemilihan formalistis dan tidak hakiki, sebab pemilik modal, orang kaya dan orang-orang berpengaruhlah yang hakikatnya menentukan siapa yang menjadi orang yang memerintah.
Dengan sistem dan prosedur Pemilu yang rumit, hanya mereka yang bisa mempengaruhi opini publik dan mengarahkan untuk memilih siapa yang mereka inginkan. Hanya mereka pula yang mampu membiayai kampanye Pemilu yang mahal. Ini merupakan fenomena yang sudah diketahui banyak orang. Orang Barat dari sisi praktis tidak menjadikan kedaulatan sebagai milik rakyat tetapi kedaulatan milik segelintir kelompok berpengaruh yang memperbudak rakyat.
Tak heran dengan kekuatan politik dan ekonomi yang mereka miliki, kecurangan-kecurangan bisa mereka lakukan termasuk di masa kampanye. Apalagi calon-calon pemimpin dalam sistem demokrasi dipilih oleh partai yang tidak memiliki kapabilitas. Konsekuensinya tidak ada keunggulan yang bisa diandalkan untuk mempengaruhi rakyat. Akibatnya cara curang pun menjadi pilihan. Inilah fakta bobroknya sistem demokrasi-kapitalisme yang lahir dari asas sekulerisme (memisahkan aturan agama dari kehidupan). Karena itu aturan Islam tidak akan diberi ruang untuk mengatur negara, maka wajar jika segala cara tak peduli halal atau haram akan dilakukan seseorang demi meraih kekuasaan dan tidak peduli akan adanya resiko konflik di tengah masyarakat.
Berbeda halnya dengan sistem Islam yang diterapkan dalam institusi Khilafah Islamiyah. Islam memandang kepemimpinan dan jabatan adalah amanah yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT. Islam memiliki mekanisme pemilihan pemimpin terbaik dengan asas akidah Islam. Pelaksanaan akan tertib dan lancar serta penuh kebaikan, termasuk dalam interaksi warga. Sebab landasan akidah Islam memastikan segala praktik pemilu yang dijalankan harus memenuhi syarat yang ditetapkan Islam.
Kebolehan Pemilu dalam Islam, karena Allah SWT telah meletakkan kekuasaan sebuah negara ada di tangan umat. Namun Islam menetapkan bahwa kedaulatan bukan di tangan umat akan tetapi di tangan Allah SWT, artinya penguasa yang dipilih oleh rakyat hanya boleh menjalankan aturan dari Allah SWT saja, bukan aturan kesepakatan di antara para pejabat yang didukung pemilik modal. Sebagaimana dalam sistem demokrasi, Islam juga telah menjadikan politik sebagai jalan melayani kepentingan publik, sebab politik dalam Islam bermakna mengurusi urusan umat. Oleh karena itu siapa pun yang menjadi calon penguasanya, maka ketika terpilih ia wajib melayani kepentingan umat, bukan kepentingan segelintir orang. Sungguh hanya pemilihan dalam sistem Islam yang membawa kebaikan bagi umat.
Sumariya
Anggota Lingkar Studi Muslimah Bali
Views: 30
Comment here