Oleh Santy Mey
wacana-edukasi.com, SURAT PEMBACA-– Zakat sejatinya salah satu kewajiban yang harus ditunaikan oleh umat muslim, karena termasuk salah satu rukun Islam dan juga dengan membayar zakat sebagai bentuk ketaatan kepada sang pencipta Al-Khaliq.
Dengan demikian, Badan Amil Zakat (BAZNAS) Kabupaten Bandung pun memanfaatkan momentum Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas) dengan menggelar kebangkitan zakat. Acara yang bertajuk “Bangkit Bangsaku, Bangkit Zakatku” tersebut dihadiri oleh Bupati Bandung HM Dadang Supriatna dan para petinggi dipemerintahan Kabupaten Bandung.(Pikiran Rakyat, 20-05-2024).
Dalam acara tersebut, Bupati Bandung Dadang Supriatna, menghimbau kepada semua ASN agar membayar zakat profesi dari penghasilan kotor, baik gaji maupun tunjangan yang diterima ASN, adapun intruksinya agar zakat dan infaknya disalurkan melalui BAZNAS. Diketahui pada tahun lalu perolehan Zakat, Infak dan Sedekah (ZIS) di Kabupaten Bandung baru mencapai Rp 10 miliar. Harapannya dengan digelar kebangkitan zakat, perolehan ZIS tahun ini bisa mencapai lebih dari Rp 12 miliar.
Namun pada kenyataannya disistem kapitalisme saat ini, dalam periayahan zakat tidak sesuai dengan syari’at Islam, karena kebijakan membayar zakat bukan atas dasar kesadaran wajib zakat, tetapi dengan cara memotong langsung dari uang gaji, yang dapat berindikasi ada unsur paksaan didalamnya dan akan menimbulkan kedzaliman.
Bagaimana tidak, sebagai muzakki para ASN mau tidak mau secara otomatis gajinya setiap bulannya dipotong 2,5%. Dengan begitu, zakat yang dibayarkan bukan atas dasar kesadaran tetapi keharusan. Padahal kita tahu bahwa mengeluarkan zakat merupakan kewajiban yang bernilai ibadah.
Sehingga, dalam menunaikan zakat harus timbul dari kesadaran diri sendiri, bukan atas dasar dorongan orang lain apalagi dengan cara terpaksa yang bisa menimbulkan adanya rasa tidak ikhlas dari para muzakki.
Bahkan, bila dilihat dari sisi mustahiknya masih terjadi ketidaksesuaian dengan syariat Islam, seringkali dalam penyaluran zakat tidak tepat sasaran, orang yang tidak mampu banyak yang tidak tersentuh sedangkaan yang masih berkecukupan malah mendapatkaannya. Sehingga, dalam pemilihan mustahik tidak sesuai dengan kriteria 8 ashnaf yang tercantum dalam Al-Qur’an.
Sedangkan Islam memandang bahwa zakat, selain sebagai kewajiban yang termasuk kedalam rukun islam, juga sebagai pondasi dalam menyempurnakan keimanan. Umat muslim berkeyakinan, bahwa dengan menyisihkan sebagian rizki yang kita peroleh untuk menunaikan zakat, sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah SWT.
Sebagai mana yang tercantum dalam nash Al-Qur’an surat At-Taubah ayat 103 yang berbunyi “Ambilah zakat dari sebagian harta mereka dan dengan itu akan membersihkan dan mensucikan mereka. Dan do’akanlah mereka, sesungguhnya do’a engkau menjadi ketentraman jiwa untuk mereka. Dan Allah maha mendengar lagi maha mengetahui.
Maka berdasarkan ayat tersebut, dengan kita menunaikan zakat guna membersihkan jiwa dari kekikiran dan cinta yang berlebihan terhadap harta yang kita miliki dan mensucikan hati kita agar tumbuh subur sifat kebaikan. Sedangkan anjuran berdo’a agar senantiasa mendapatkan ketentraman jiwa.
Dengan demikian, umat muslim pun akan memiliki kesadaran bahwa membayar zakat merupakan bentuk ketaatan dan kepedulian terhadap sesama serta sebagai wujud solidaritas sosial yang harus tetap terjaga dan dipertahankan, dengan tujuan untuk menyebarkan manfaat dalam kehidupan bersosial.
Sebagaimana firman Allah Swt yang berbunyi,
“Hai orang-orang yang beriman! nafkahkanlah dijalan Allah sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang kami keluarkan dari bumi untuk kamu”.(Al-Baqarah 267).
Sementara dalam menentukan muzakki dan mustahik, sistem Islam berdasarkan pada hukum syara’ yang merupakan aturan dari Allah Swt. Dimana kriteria muzakki adalah beragama Islam, merdeka, memperoleh harta yang baik, bebas hutang, harta mencapai nisab dan haul, harta pribadi dan dapat bertambah.
Sedangkan untuk kriteria mustahik adalah fakir, miskin, amil, mualaf, budak, orang yang berhutang, fisabilillah dan ibnu sabil.
Didalam sistem ekonomi Islam sumber pemasukan negara tidak terpaku pada zakat saja, tetapi masih banyak sumber pemasukan yang mempunyai kontribusi lebih besar dari zakat seperti pengelolaan sumber daya alam (SDA), ghanimah, fa’i, anfaal, jizyah dan masih banyak lagi yang lainnya.
Adapun semua sumber pemasukan tersebut, salah satunya SDA berupa minyak bumi, gas alam, batu bara, emas, nikel dan masih banyak lagi yang lainnya. Semua SDA tersebut akan dikelola oleh negara khilafah dengan baik secara optimal sesuai dengan syari’at Islam, semata-mata untuk kemaslahatan umat.
Dengan demikian, dibawah kepemimpinan khalifah seluruh masyarakat akan merasakan kesejahteraan, bagaimana tidak dari hasil sumber daya alam yang begitu melimpah sebagai pemasukkan kas negara (baytul mal) dan akan disalurkan secara merata. Sementara untuk zakat, dipungut dari masyarakat yang memiliki harta berlebih ketika baytul mal benar-benar kosong.
Wallahu’alam bishawab
Views: 5
Comment here